Kenapa Hary Tanoe Minta Mbak Tutut Muncul

Hary Tanoesoedibjo, dirut Media Nusantara
Sumber :
  • www.daylife.com

VIVAnews - Pemilik PT Media Nusantara Citra, Hary Tanoesoedibjo, ingin bertemu langsung dengan Siti Hardijanti Rukmana (mbak Tutut) untuk penyelesaian kasus kepemilikan saham stasiun televisi TPI.

Geger Video Mesum Napi Narkoba dengan Wanita di Ruangan Lapas, Lagi Diusut Kemenkumham

Hary tidak ingin penyelesaian kasus TPI hanya diwakili oleh perwakilan mbak Tutut.  "Kami ingin segera ada penyelesaian. Tapi kami ingin Mbak Tutut yang muncul, selama ini yang datang selalu orang-orangnya yang tidak memiliki kekuasaan memutuskan," kata Hary.

Dia menambahkan, "Kuncinya kami harus duduk bersama dengan Mbak Tutut. Beliau yang dulu menandatangani semua dokumen ini dan memiliki kekuasaan untuk memutuskan. Jika tidak percuma saja," kata Hary  saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis malam, 1 Juli 2010.

Kaesang: Walaupun PSI Belum Bisa Masuk Senayan, Enggak Masalah

"Silakan saja jika Mbak Tutut dalam pertemuan itu didampingi lawyer, konsultan keuangan atau apapun yang diperlukan. Kami siap."

Hari Tanoe selama ini mengeluhkan tidak pernah bisa bertemu dengan putri mantan Presiden Soeharto tersebut. Dalam berbagai kesempatan terkait kisruh saham TPI yang muncul ke muka publik adalah orang-orang dekatnya dan kuasa hukum Mbak Tutut, seperti Harry Pontoh dan Denny Kailimang.

MK Juga Surati KPU dan Bawaslu, Bakal Bacakan Dua Putusan

Bahkan, pada Sabtu lalu, 26 Juni 2010, sekelompok orang mengatasnamakan direksi baru TPI mendatangi kantor TPI. Menurut Denny Kailimang, langkah itu dilakukan sebagai bagian dari upaya mengamankan aset-aset Mbak Tutut.

Alasannya, direksi TPI yang dibentuk oleh Hary Tanoe sebagai direksi yang tidak sah. Ini sesuai dengan surat Pejabat Pelaksana Harian (Plh) Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM, Rieke Amavita disebutkan bahwa Menteri Hukum telah membatalkan surat-surat pengesahan anggaran dasar TPI.

Mereka datang setelah kubu Mbak Tutut menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 23 Juni 2010. Hasilnya, kubu ini menunjuk direksi baru yang dipimpin oleh Yapto Soerjosoemarmo, mantan Ketua Umum Pemuda Pancasila sebagai Direktur Utama TPI.

Gara-gara aksi menggeruduk kantor TPI itu, Hary Tanoe kemudian melaporkan ke Polda Metro, Jakarta. Hary menduga Rieke Amavita telah memalsukan surat Menteri Hukum yang telah membatalkan surat-surat pengesahan anggaran dasar TPI.

Harry Tanoe menjelaskan, kisruh TPI ini bermula pada tahun 2002. Saat itu, lanjut Hary, dia diminta membantu Tutut yang sedang terjerat utang yang mencapai Rp1,63 triliun.

"Saya putuskan untuk membantunya, komitmen kami refinancing sampai maksimum US$55 juta. Jika lebih dari itu urusan mbak Tutut. Dari bantuan itu, kami mendapatkan 75 persen kepemilikan di TPI," jelasnya. "Keputusan itu ditandatangani langsung oleh saya dan mbak Tutut pada 23 Agustus 2002.

Namun, pada 20 Desember 2004, manurut Hary, mbak Tutut kembali mengirimkan surat kepada dirinya. Isinya, mbak Tutut meminta agar saham TPI dikembalikan.

Hary menjelaskan, atas permintaan itu, pada 7 Maret 2005, pihak dewan komisaris dan direksi kemudian menggelar rapat untuk memutuskan permintaan tersebut.

"Hasil rapat memutuskan tiga hal. Pertama, kami akan menjual saham yang kami punya senilai Rp630 miliar. Kedua, kami membeli saham mbak Tutut (25 persen) sebesar Rp210 miliar. Dan opsi terakhir, tidak mengambil sikap apa-apa yang berarti keputusan tetap seperti sedia kala," jelasnya.

Menurut Hary, pada 8 Maret, dia langsung menemui mbak Tutut. Pertemuan itu juga dihadiri pula oleh adik mbak Tutut, Bambang Trihatmodjo. "Kami bicarakan mengenai keputusan rapat tersebut dan meminta mbak Tutut mengambil sikap," ujarnya.

Namun, lanjut Hary, hingga 17 Maret, mbak Tutut tidak memberikan sikapnya. "Akhirnya kami memutuskan untuk menggelar RUPS pada 18 Maret dan memutuskan kepemilikan saham TPI tetap seperti semula, 75:25."

Pada hari yang sama, lanjut Hary mbak Tutut baru memberikan tanggapan. "Mbak Tutut akhirnya mengirim surat untuk membeli bagian saya sebesar Rp630 miliar, namun tanpa detail rencana pembelian yang jelas."

Atas surat itu pula, menurut Hary, mbak Tutut kemudian menggelar RUPS sendiri. "Dia mengklaim telah membatalkan surat kuasa yang telah diberikan kepada saya untuk menangani TPI," ujarnya.

Menurut Hary, masalah itu pun kemudian terus berlanjut hingga saat ini. "Kami masih menginginkan agar persoalan bisa diselesaikan secara musyawarah. Tapi kami harus duduk bersama menyelesaikan masalah itu," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya