Kenapa Soekarno Memotong Nilai Rupiah

Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews - Wacana soal redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah mengingatkan kembali pada peristiwa sanering atau pemotongan nilai riil uang rupiah (sanering) pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Kecemasan sempat merebak gara-gara redenominasi dianggap seperti halnya sanering yang menimbulkan kekacauan di masyarakat lantaran duit mereka tiba-tiba tidak ada harganya.

"Nasabah bank dan investor asing sempat panik karena semula dipikir Bank Indonesia akan melakukan sanering," kata Ketua Umum Himpunan Bank-Bank Umum Nasional Swasta (Perbanas) Sigit Pramono kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2010.

Mereka panik, kata dia, karena trauma peristiwa 50 tahun lalu. "Orang-orang tua kita tentu masih ingat betapa kepanikan muncul karena tiba-tiba kekayaannya menurun akibat kabijakan sanering," kata dia.

Jika mengacu kembali pada masa pemerintah Soekarno, kebijakan sanering dilakukan pada 25 Agustus 1959. Tujuannya, untuk mengendalikan inflasi yang demikian tinggi. Caranya, pada saat itu, nilai uang pecahan Rp500 dan Rp 1.000 dipotong menjadi Rp50 dan Rp100.

Bahkan, bukan cuma sanering yang dilakukan. Namun, pemerintah juga serta membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang.

Pada 1958-1959, Indonesia memang tengah menghadapi persoalan inflasi yang tinggi. Bayangkan, pada tahun itu, dengan jumlah uang beredar Rp29.372 juta inflasi sudah mencapai 46 persen. Pada 1959, jumlah uang beredar melonjak Rp5.517 juta menjadi Rp34.889 juta. Jumlah uang beredar pada 5 dekade lalu memang tidak seperti sekarang yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Secara eksternal, hal tersebut disebabkan oleh resesi di negara-negara industri yang mengakibatkan turunnya permintaan harga bahan mentah sehingga pendapatan hasil ekspor merosot. Secara internal, kondisi ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan politik dalam negeri yang memuncak pada kurun waktu 1957-1958.

Indonesia juga terlibat dalam konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat sehingga membutuhkan biaya besar. Selain itu, bank-bank juga memberikan kredit dalam jumlah besar kepada perusahaan dan yayasan pemerintah sebesar Rp5.257 juta, termasuk tambahan kredit kepada perusahaan asing yang dinasionalisasi. Akibatnya, jumlah uang beredar melonjak sangat tajam.

Ironisnya, lonjakan uang beredar besar-besaran tidak diimbangi dengan persediaan barang, baik produksi dalam negeri maupun impor. Akibatnya harga barang-barang dan biaya hidup melonjak tajam. Jika pada 1958, laju inflasi 46 persen, maka pada 1959 inflasi juga tinggi mencapai 22 persen. Pada 1960, inflasi juga tembus 36 persen. Itu tentu berbeda dengan kondisi sekarang, setelah lima tahun dimana inflasi rata-rata di kisaran 5-6 persen per tahun.

Buntut dari berbagai kebijakan ini, bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah memperburuk situasi. Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, yang ditanggapi oleh Bank Indonesia (BI) melalui pemberian kredit likuiditas kepada bank-bank. BI juga menangguhkan kebijakan pembatasan kredit.

Kesulitan likuiditas membuat bank-bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi. Akibatnya, berpengaruh pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Bahkan, inflasi terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai puncaknya pada 1966 dengan inflasi sebesar 635,5 persen.

Tindakan ini dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI. Akibatnya, Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden Soekarno.

Arus Mudik di Aceh Diprediksi Meningkat 9 Persen pada 2024

Sumber: Buku Sejarah BI

Baca Juga: Rupiah Seperti Mata Uang Sampah Dunia

Beli Properti Bisa untuk Rumah Tinggal Sekaligus Investasi Jangka Panjang
Ilustrasi menabung.

Generasi Muda Harus Cerdas Finansial Dalam Menabung dan Kelola Keuangan

Sebagai generasi penerus bangsa dengan akses yang luas terhadap produk dan layanan keuangan, anak muda seharusnya bisa lebih bijak merencanakan serta mengelola keuangan. 

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024