Kolom Menneg BUMN Dahlan Iskan

Terobosan Dua Penyandang Cacat Organ

Dahlan Iskan
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Bukan karena merasa sama-sama sebagai “penderita cacat organ” kalau saya dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto sering membuat kesepakatan. Berbagai terobosan memang harus kami berdua buat. Terutama untuk mengatasi banyak masalah infrastruktur. Saya memang sesekali bertanya soal operasi jantung padanya. Dan Beliau juga sesekali bertanya mengenai operasi ganti hati kepada saya. Tapi kami lebih sering berbicara mengenai bagaimana bisa mewujudkan jalan tol dengan cepat. Beliau adalah pemegang regulasi jalan tol, sedang BUMN memiliki perusahaan jalan tol seperti PT Jasa Marga (Persero) Tbk.

Cerita Dahlan Iskan ke Pengacara Soal Kasus Aset PWU

Untuk mewujudkan jalan tol dari Semarang ke Solo, misalnya. Kami berdua membuat terobosan yang belum pernah terjadi. Ruas Semarang-Ungaran memang sudah selesai dikerjakan. Lalu Jasa Marga kini juga sedang mengerjakan ruas Ungaran-Bawen yang akan selesai awal tahun depan. Tapi bagaimana dengan ruas Bawen-Solo?

Menurut perhitungan bisnis, ruas Bawen-Solo belum menguntungkan. Perlu subsidi negara sampai Rp1,9 triliun. Tapi sungguh sulit mendapatkan suntikan dari pemerintah sebesar itu. Bahkan mendekati mustahil. Menteri Keuangan sangat keras dalam mendisiplinkan fiskal. Melihat gelagat itu saya memilih cari jalan memutar. Saya minta Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik Kementerian BUMN Sumaryanto Widayatin untuk menemukan jalan keluar, meski harus agak memutar.

Dahlan Iskan Mangkir dari Panggilan Jaksa Jawa Timur

Akhirnya jalan memutar itu ditemukan. Syaratnya saya harus membicarakannya dengan Menteri PU. Intinya adalah: Jasa Marga bisa mengerjakan jalan tol Bawen-Solo kalau bisa mendapat izin dua jalan tol lainnya. Yakni jalan tol sepanjang 3 km dari Daan Mogot ke Cengkareng dan jalan tol dari Kawasan Berikat Nusantara ke pelabuhan Tanjung Priok. Kalau izin itu bisa diberikan maka keuntungannya banyak sekali. Jalan tol Semarang-Solo langsung bisa dikerjakan dan kemacetan ruas Daan Mogot ke Cengkareng serta keruwetan kawasan industri sekitar Bekasi ke Tanjung Priok juga terurai.

Menteru PU langsung merespons dengan cepat. Bahkan kini deputi saya yang dikejar-kejar untuk segera memproses persyaratannya. Di depan Presiden SBY saya mengemukakan (dan didengar oleh Menteri PU serta menteri lainnya) bahwa bottle neck pembangunan jalan tol Semarang-Solo bisa diselesaikan dengan pola “kaset seribu tiga”. Dua ruas yang "gemuk" dipaketkan dengan satu ruas yang "kurus".

Kejaksaan Panggil Dahlan Iskan di Kasus Aset Negara

Pola “kaset seribu tiga” ini merupakan kesepakatan kedua saya dengan Menteri PU. Yang pertama adalah pembangunan jalan tol di Bali. Yakni jalan tol yang menghubungkan bandara Ngurah Rai yang baru ke kawasan wisata Nusa Dua melalui atas laut. Jalan tol di Bali itu nanti akan menjadi jalan tol di atas laut yang pertama di Indonesia. Di tengah laut nanti, akan ada interchange-nya yang meliuk-liuk. Kini jalan tol Bali itu sedang dikerjakan dengan kecepatan yang tinggi. Dua belas bulan lagi sudah akan bisa dinikmati. Proyek ini tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada terobosan yang kuat antara Menteri PU, Gubernur Bali, dan Kementerian BUMN.

Kemarin malam saya dan Pak Djoko Kirmanto membuat kesepakatan baru lagi. Kali ini untuk menerobos Sumatera. Sudah lebih 10 tahun para gubernur di Sumatera menuntut segera dimulainya pembangunan jalan tol sepanjang pulau itu. Sumatera akan menjadi pulau yang memberikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa kalau listrik tercukupi dan jalan tol dibangun besar-besaran.

Minggu lalu, saya bertemu dengan gubernur seluruh Sumatera. Tuan rumahnya Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Kami kemukakan bahwa beberapa terobosan sedang dilakukan di Jateng dan Bali. Mestinya terobosan yang sama juga bisa dilakukan di Sumatera. 

Para gubernur di Sumatera memang memiliki kemampuan keuangan lebih besar dari propinsi lainnya. Mereka juga ngebet ingin membangun konektivitas di antara propinsi di Sumatera. Maka kami tawarkan untuk bersama-sama memulai membangun jalan tol di seluruh Sumatera. Tentu banyak ruas di Sumatera yang secara bisnis masih kurang menguntungkan. Tapi tidak boleh perhitungan bisnis tersebut menghambat pembangunan.

Yang kami tawarkan adalah membangun perusahaan patungan antara Jasa Marga dan masing-masing Pemda di Sumatera. Maka dalam rapat yang hanya tiga jam itu disepakati banyak hal. Misalnya kesamaan pandangan bahwa pembangunan jalan tol belum bisa menguntungkan pihak Jasa Marga, tapi sangat menguntungkan wilayah propinsi yang dilewati. Karena itu beban berat itu harus dipikul bersama antara Jasa Marga dan Pemda. Caranya, Pemda melakukan pembebasan tanah dan melakukan pencadangan sejumlah kawasan di sepanjang jalan tol. Kawasan itulah yang kelak akan dikelola bersama untuk sebuah proyek bisnis di masa depan.

Hari itu juga kami sepakati pembentukan PT Jasa Marga Lampung, PT Jasa Marga Sumsel, PT Jasa Marga Jambi, PT Jasa Marga Riau, PT Jasa Marga Sumbar, PT Jasa Marga Sumut, dan PT Jasa Marga Bengkulu. Jasa Marga memegang saham mayoritas di masing-masing perusahaan itu. Sedang Pemda memegang sejumlah saham yang besar kecilnya ditentukan oleh kemampuan daerah.

Terobosan ini segera saya komunikasikan dengan Menteri PU. Beliau pun segera mengamini. Tinggal urusan administrasi yang harus dipersiapkan. Dalam kesempatan menghadap Presiden SBY Jumat siang lalu, terobosan di Sumatera ini juga saya sampaikan. Tentu Presiden sangat menghargai kerjasama antara BUMN dan Kementerian PU seperti ini. Secara bergurau Presiden menambahkan: kapan dibangun PT Jasa Marga Pacitan?

Di bagian akhir kesepakatan Palembang itu dikonkretkan pula jalan tol mana saja yang akan dibangun. Di Lampung akan dibangun mulai Bakauheni sampai Bandar Lampung ditambah dengan tol di dalam kota. Lalu tol yang menuju Sumsel. Di Sumsel sendiri ditentukan jalur dari Palembang ke Prabumulih, Palembang-Siapi-api, dan Palembang ke perbatasan Jambi.

Di Jambi dibangun jalan tol dari perbatasan Sumsel ke kota Jambi. Juga dari kota Jambi ke Tanjung Jabung. Di Riau jalan tol dibangun dari Pekanbaru ke Dumai dan Pekanbaru ke Palalawan. Di Sumbar dibangun jalan tol dari Padang ke Padang Panjang dan langsung ke Bukittinggi terus sambung ke perbatasan Riau. Di Sumut jalan tol dibangun dari Medan ke Tebing Tinggi dan terus ke Kuala Tanjung. Juga dari Medan ke Binjai.

Jumat sore lalu saya langsung ke Semarang. Di perkebunan kopi Banaran, kami mengumpulkan para manajer dari 10 pabrik gula yang paling sulit di Indonesia. Ini sebagai kelanjutan dari acara bahtsul masail kubro di Surabaya sebulan sebelumnya. Sampai menjelang tengah malam kami bahas bagaimana 10 pabrik tersulit itu bisa keluar dari "asfalas safilin"!

Problem pokok pabrik gula adalah di pertanyaan yang mendasar ini: di manakah gula itu dibuat?

Orang awam tentu menjawab: gula dibuat di pabrik gula!

Itu salah!

Yang benar, gula itu dibuat di sawah!

Tanaman tebu yang semula kecil tumbuh menjadi besar lalu berisi gula. Ada tebu yang gulanya sedikit, ada tebu yang gulanya banyak. Tergantung dari bibitnya, cara tanamnya, pemeliharaannya, pemupukannya, dan seterusnya. Di sinilah ditentukan banyak sedikitnya gula akan diproduksi. Walhasil pabrik-pabrik gula harus kembali memperhatikan tata cara penanaman tebu yang benar.

Pabrik gula bukanlah pembuat gula. Pabrik gula justru hanya membuang gula. Kadar gula dari sebatang tebu yang, katakanlah 1 kg, setelah digiling hanya keluar gula 0,6 kg. Bukankah ini berarti tugas pabrik gula itu justru hanya mengurangi gula?

Malam itu, di Banaran, para manajer 10 pabrik gula "asfalas safilin" menyepakati untuk back to basic. Tanaman tebu diperhatikan dan efisiensi pabrik ditingkatkan. 

Paginya, setelah ke Universitas Negeri 11 Maret Solo dan Universitas Muhammadiyah Solo, saya menuju Bantul dan Gunung Kidul. Saya diajak melihat program peningkatan produksi beras yang dilakukan dengan model korporasi. Pelaksananya PT Sang Hyang Seri, salah satu BUMN pangan kita.

Di sawah di Bantul inilah untuk pertama kali saya mengemudikan mesin panen padi. Begitu cepat panen padi dengan menggunakan mesin. Rasanya seperti di Amerika Serikat saja. Sore itu kami diskusi dengan para petani. Ternyata sudah begitu berubah cara berpikir petani kita. Mereka serba menginginkan modernisasi. Mereka minta traktor, mesin panen, mesin perontok gabah, mesin blower untuk menghilangkan gabuk, dan mesin pengering gabah.

Beda sekali dengan ketika saya sering kerja di sawah saat masih remaja dulu. Saya biasa ndaud benih, mencangkul di sawah, nggaruk, dan memegang ani-ani untuk panen. Kembali ke sawah di Bantul kali ini saya melihat kita semua, para pelayan petani, harus berubah berpikir secara total: petani kita sudah menghendaki modernisasi yang paripurna.

Kini BUMN memang memiliki tiga program besar di bidang pangan: Gerakan Peningkatan Produksi Pagan berbasis Korporasi (GP3K), Proberas, dan Food Estate. GP3K adalah program bantuan untuk petani agar bisa mendapatkan benih unggul, pupuk yang cukup, dan obat hama yang diperlukan. Bantuan itu dikembalikan pada saat panen nanti. Istilahnya yarnen (bayar saat panen). Proberas adalah program untuk menampung sawah-sawah petani yang kurang produktif. Kini banyak petani yang hanya mengusahakan sawahnya dengan hasil 5,1 ton/ha. Daripada seperti itu lebih baik sawahnya diserahkan ke BUMN. Targetnya BUMN akan mengerjakannya secara intensif dan akan menghasilkan sekitar 6,7 ton/ha. Petaninya untung, negara pun memiliki produksi beras yang cukup. Sedang program Food Estate adalah pembukaan sawah baru 100.000 ha di Kaltim, yang kini lagi dalam tahap persiapan pengadaan lahannya. 

Terobosan memang harus banyak dibuat. Di jalan tol maupun di sawah-sawah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya