- REUTERS/David Stanway
VIVAnews - Perdebatan pengenaan bea keluar barang mentah tambang semakin meruncing. Setelah pelaku pertambangan mengancam kemungkinan pemutusan hubungan kerja, kini pemerintah menganggap para pengusaha tambang di Tanah Air justru memiliki minat yang minim dalam membangun smelter atau tempat pengolahan.
“Minat pengusaha membangun smelter masih minim sekali. Saat ini, hilirisasi bauksit dan nikel belum ada. Sedangkan alumina sudah ada sedikit,” ujar Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2012.
Menurut Gita, pengusaha lebih senang mengekspor bahan baku daripada membangun smelter. Alasannya, sederhana, hal itu lebih mudah dilakukan. Dengan kata lain, Gita menilai, pengusaha lebih senang membangun rumah toko daripada industrinya.
Padahal, Gita melanjutkan, pemerintah akan memberikan insentif bagi perusahaan pertambangan yang bersedia mendorong pembangunan smelter di dalam negeri.
Kendati mendorong pengusaha tambang mengembangkan industri hilir, Gita mengakui, pembangunan smelter tidaklah mudah, karena membutuhkan pasokan listrik yang tinggi.
Kementerian Perdagangan menilai, penerapan bea keluar 20 persen untuk 14 jenis mineral, seharusnya disesuaikan dengan kebijakan hilirisasi. Salah satu bentuknya adalah komoditas yang sudah mengembangkan hilirisasi, bisa memperoleh besaran bea keluar yang tak terlalu tinggi.
“Sebelumnya kan ada yang mengusulkan penerapan bea keluar sampai 50 persen. Tapi, sebaiknya bea keluar disesuaikan dengan hilirisasinya,” ujarnya.
Program hilirisasi diakuinya sesuai dengan semangat undang-undang mineral dan batu bara yang akan melarang ekspor bahan mentah lagi pada 2014. Bahkan, Kemendag telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan pada 7 Mei lalu.
Dalam aturan itu disebutkan produk pertambangan yang diekspor hanya bisa dilakukan perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai eksportir terdaftar (ET)-produk pertambangan dari Kementerian Perdagangan. Izin itu berlaku dua tahun. (art)