74% Wilayah Kerja Migas di RI Dikuasai Asing

Proyek pengeboran migas Lengowangi 2 (SP/Asepta Y.P. )
Sumber :
  • Surabaya Post/Asepta Y.P.

VIVAnews - Bentuk Kontrak Bagi Hasil (perubahan dari bentuk Kontrak Karya) diperkenalkan ketika Bung Karno menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas yg dimasa sebelumnya menggunakan bentuk Kontrak Royalti. Perubahan ini dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan amanat pasal 33 UUD 1945 agar negara menguasai sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Dengan kontrak yang kini di bawah UU Migas No.22 Tahun 2001 ini, pihak asing tidak bisa menjadi penguasa sektor strategis ini.

"Perusahaan migas nasional maupun asing, hanya sebagai kontraktor yang mengerjakan wilayah kerja migas milik negara," ujar Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BPMIGAS, Gde Pradnyana di Jakarta, Minggu, 13 Mei 2012.

Gde mengatakan setiap kontraktor nasional maupun asing wajib melaporkan rencana kerja, kegiatan yang sedang berjalan, hingga program yang telah selesai dilakukan. Otoritas penuh tetap berada di tangan BPMIGAS sebagai badan pengawas dan pengendali.

"Kami yang menentukan apakah suatu program masuk ke dalam komponen biaya cost recovery atau tidak," imbuhnya.

Kontrak Kerja Sama (KKS) mengatur hasil berdasarkan kesepakatan yakni hasil produksi migas dikurangi biaya operasi. Untuk minyak bumi, 85 persen bagian negara dan sisanya untuk kontraktor. Sementara untuk gas, negara memegang 70 persen bagian.

"Jadi, tidak tepat anggapan bahwa kita tidak memiliki kedaulatan atas sumber daya migas," cetus Gde.

Revisi

Pembahasan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sedang dilaksanakan oleh DPR. Beberapa pihak melontarkan pendapat UU 22/2001 harus dirombak total karena bertentangan dengan UUD 1945.

Gde mengakui kekurangan aturan sebelumnya, UU Nomor 8 Tahun 1971 yang sangat sentralistik. UU 22 Tahun 2001 lahir untuk memenuhi tuntutan reformasi dan desentralisasi. Pada era lama tersebut terjadi pemusatan kekuasaan.

Demokrat Munculkan Nama Dede Yusuf untuk Pilkada Jakarta 2024

Pertamina ketika itu merangkap sebagai regulator sehingga melewati kewenangan pemerintah. Pihak Pertamina juga merangkap sebagai operator. Akibatnya, perusahaan migas nasional kita menjadi tidak efisien dan akuntabilitasnya sangat rendah.

Dulu, penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kini, pendapatan secara langsung masuk kas negara.

Pada masa lalu besaran biaya pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai tiga persen dari Penerimaan Migas. Saat ini, diatur maksimal satu persen setelah melalui tahap pengajuan kepada pemerintah.

"Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa dulu biaya pengelolaan kegiatan hulu lebih murah jelas keliru", imbuh Gde.

Pada era UU migas yang lama, Wilayah Kerja (atau Blok) Migas hanya ditawarkan dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar. Tentunya, tender ini didominasi perusahaan asing. UU 22 Tahun 2001 diharapkan dapat menjadikan tender lebih terbuka.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan data bahwa sepanjang 2001-2011, 74 persen Wilayah Kerja Migas yang sudah berproduksi digarap oleh perusahaan asing. Alasannya, mereka peroleh kontrak pada era UU 8 Tahun 1971.

Selama berlaku UU 22 Tahun 2001, statistik menunjukkan rata-rata ada 17 blok migas baru yang diberikan. Dari jumlah itu, sebagian besar diberikan kepada perusahaan nasional. Kontraktor asing hanya memenangkan tender blok migas pada area deepwater di Selat Makassar dan daerah frontier di Indonesia Timur.

UU 8 Tahun 1971 yang sangat sentralistik juga menyebabkan daerah tidak akan pernah mendapatkan peran untuk berpartisipasi dalam mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayahnya. Kini, dengan UU Migas 22/2001, peran daerah diakomodasi dengan pemberian participating interest.

"Partisipasi daerah penghasil juga tentu harus semakin terbuka lebar," harap Gde. (ren)

Smart Finance Gandeng CBI Redam Risiko Kredit Macet
Ilustrasi KTP.

Pemprov: Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Bisa Ajukan Keberatan

Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Budi Awaludin mempersilakan warga untuk mengajukan keberatan jika terkena penonaktifan NIK.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024