Fenomena Naik Turun Tajam Indeks Saham RI

Bursa Efek Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVAnews - Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, selama tiga hari transaksi terakhir pekan ini berturut-turut melemah. Tercatat, hingga penutupan perdagangan kemarin, indeks saham sudah melemah hampir 250 poin atau mencapai lima persen. 
Syuting Tak Berizin, Artis dan Kru Variety Show Pick Me Trip In Bali Diperiksa Imigrasi Ngurah Rai

Sementara itu, pada pekan lalu, IHSG berhasil membukukan kenaikan hampir 400 poin atau 8,9 persen. Selain sentimen domestik, perkembangan ekonomi global turut memengaruhi aksi jual beli saham di BEI.
Nekat Datangi Markas TNI, Mayjen Gadungan Ini Ingin Nitip Kerabat Masuk Akmil

Robin Setiawan, pengamat saham dari PT Valbury Asia Securities, Kamis 4 Juli 2013, mengatakan bahwa fenomena fluktuasi indeks yang cepat naik dan turun itu terjadi karena mengikuti perkembangan ekonomi global yang belum stabil.
Terpopuler: Sakit yang Diidap Parto sampai Syifa Hadju Pernah Diperingatkan oleh Raffi Ahmad

Kondisi itu, menurut dia, diawali dengan rencana pengurangan stimulus ekonomi di Amerika Serikat yang berdampak pada proyeksi pertumbuhan ekonomi negara tersebut, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

"Di sisi lain, masing-masing negara di kawasan regional Asia seperti China dan Jepang juga mempunyai permasalahan ekonomi sendiri. Jadi, pelaku pasar saham di Indonesia, setidaknya tetap mengamati perkembangan ekonomi yang terjadi di belahan dunia," ujarnya kepada VIVAnews.

Khususnya di dalam negeri, Robin melanjutkan, juga mempunyai permasalahan yang memengaruhi laju indeks saham domestik, yaitu dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dapat mendorong sejumlah emiten mulai mengoreksi proyeksi pertumbuhan pendapatannya.

"Sebab, naiknya harga BBM, terkait dengan masalah inflasi dan lainnya," ujarnya.

Dia menegaskan, untuk jangka pendek, mengingat pergerakan indeks regional yang berfluktuasi, karena belum stabilnya perekonomian global, setidaknya pasar saham Indonesia pun ikut terseret.

Namun, satu hal, kenaikan harga minyak dunia yang sudah menembus di atas level US$100 per barel, bagi sebagian pasar dunia dapat memberi sentimen tersendiri. Sebab, kenaikan harga minyak dunia bisa memengaruhi kenaikan harga-harga komoditas dunia.

Dan, mengingat hampir sebagian besar Indonesia dikelilingi sektor komoditas, menurut Robin, khususnya perusahaan yang tercatat di BEI, diharapkan dapat menjadi sentimen positif, walaupun mungkin juga berdampak negatif bagi emiten tertentu.

Selain itu, dia melanjutkan, apa yang terjadi di bursa saham Indonesia, yaitu penurunan atau kenaikan IHSG yang cukup lebar itu akibat aksi investor asing yang cukup dominan.

"Tapi, kita masih survive dan cukup kuat, karena pemain lokal kini cukup cerdas. Cuma memang asing masih dominan melakukan penjualan yang cukup agresif," tutur Robin.

Robin memperkirakan, untuk jangka pendek, IHSG masih bergerak fluktuatif dengan kisaran perubahan yang tetap lebar.

Lompatan kucing mati
Sementara itu, Kepala Riset KSK Financial Group, David Cornelis, berpendapat, IHSG dan bursa global dalam beberapa bulan terakhir sudah naik tanpa momentum. Di saat itu pula, bursa negara berkembang mulai terlihat berbahaya.

Sebab, derajat momentumnya IHSG sudah berkurang untuk tetap bergerak naik. "Penurunan awal Juni lalu cukup signifikan, terbesar ketiga sejak dimulainya tren naik pada akhir 2008," kata dia kepada VIVAnews

Dia mengungkapkan, sejak IHSG memulai tren naik sejak akhir 2008, terdapat lima kali penurunan terbesar pada IHSG, termasuk koreksi awal Juni lalu.

Terdapat dua kejadian, di mana IHSG turun lebih banyak dibanding yang terjadi pada Juni, yang hanya 14 persen, yaitu Mei 2010 sebesar 16 persen dan Agustus-September 2011 yang mencapai 23 persen.

"Ke depan, IHSG masih menyimpan potensi turun lebih lanjut," ujar David.

David mengaku bahwa perhatian utama pasar saat ini adalah efek, setelah harga BBM naik. Terdapat proksi probabilistik kenaikan inflasi menjadi total delapan persen. Kondisi ini, secara kasat mata, menunjukkan inflasi melonjak dua kali lipat dibandingkan inflasi tahun lalu.

"Puncak inflasi akan berlangsung pada Juli dan Agustus 2013, serta akan normal kembali paling cepat dalam satu kuartal," jelasnya. 

Apalagi, dia menambahkan, dengan rencana pengurangan stimulus oleh bank sentral global, khususnya The Fed, di saat itu pula pasar modal bergerak dalam tren turun, dan akan terkoreksi lebih lanjut.

Momentum inersia IHSG, menurut dia, bereaksi pada pusaran negatif defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran, serta rupiah yang terdepresiasi saat dana asing keluar. 

Tekanan terhadap rupiah, David menuturkan, merupakan masalah struktural, karena impor yang besar, sehingga memicu defisit neraca perdagangan. Sebab itu, kebijakan pemerintah juga harus bersifat struktural melalui kebijakan moneter maupun kuasi fiskal.

David menyarankan investor untuk tidak melakukan average down buat saham-saham yang rugi. "Dan jangan membeli terlalu banyak," ujarnya.

Dalam kondisi saat ini, lebih baik berinvestasi secara konsisten, karena IHSG bukan sedang dalam tren naik seperti pada April-Mei lalu.

"Lompatan kucing mati sudah terjadi dua kali, dari 4.511 ke 4.880 dan dari 4.373 ke 4.819. Setelah itu, jangan menangkap 'pisang jatuh', karena dalam jangka menengah IHSG masih punya kecenderungan untuk kembali turun ke arah 4.334-4.088," tuturnya.

Sementara itu, saham pilihan selektif di antaranya PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya