Raih Ratusan Juta Rupiah dari Usaha Batik Allussan

Sri Lestari, Pengusaha Batik Motif Klasik
Sumber :
  • VIVAnews/Daru Waskita
VIVAnews - Lahir di lingkungan pembatik di wilayah Laweyan Solo, Jawa Tengah, membuat Sri Lestari (38) tak lepas dari batik. Hijrah dari Laweyan dan menetap di Sumberadi, Kecamatan Melati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, ibu dua orang anak ini mulai merintis usaha batik secara kecil-kecilan bersama suami dan beberapa tetangganya.
Man Utd Incar Penyerang Tua yang Bela Real Madrid

Usaha yang mulai dirilis pada 2005 ini semakin berkembang sejak 2009, di mana UNESCO mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Meski batik terus berkembang, Sri tetap mempertahankan motif klasik batik.
Ekonomi Tumbuh 5,6% di 2024, Pemprov DKI Yakin Bisa Atasi Inflasi

Untuk pewarnaan juga tidak menggunakan pewarna kimia, namun tetap mempertahankan pewarna alami yang limbahnya tak berbahaya terhadap lingkungan.
Polisi Sebut Kecelakaan Beruntun di GT Halim Libatkan 9 Kendaraan

Batik yang diberi nama batik Allussan ini, kini tak hanya menghiasi berbagai galeri batik di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, sudah sampai di beberapa negara kawasan ASEAN dan Asia seperti Singapura, Brunei, Philipina, serta Jepang.

"Saya tetap mempertahankan batik motif klasik, seperti ciri khas batik dari Sleman, yaitu dengan gambar binatang gajahnya. Sleman dahulu kan berasal dari kata Sulaiman yang berarti gajah," katanya, saat ditemui VIVAnews.

Usaha yang dimulai dengan modal setara harga sepeda motor baru ini terus berkembang hingga menggunakan bahan kain dari sutera. Batik yang dihasilkan pun harganya bisa mencapai Rp6,5 juta untuk satu lembar kain batik berbahan kain sutera, dan cara pembuatannya dengan tangan.

"Pembuatan satu kain batik berbahan sutera membutuhkan waktu lama dan hanya menggunakan tangan serta bahan pewarnanya juga alami, sehingga harganya cukup mahal serta konsumennya dari luar negeri seperti Jepang," ujarnya.

Sri Lestari mengaku menyerap banyak tenaga kerja dari awal usahanya yang hanya dikerjakan oleh keluarga. Sebab, kini tenaga kerja telah mencapai 25 karyawan tetap dan 20 karyawan lepas.

"Harga kain batik relatif murah, namun menyerap tenaga kerja yang banyak. Warga di Desa Sumberadi yang paling banyak terserap dalam usaha batik cap yang belum lama dibuka ini," tuturnya.

Diakui Sri, usaha batik Allussannya ini semakin berkembang saat PT Permodalan Nasional Madani (PNM) memberikan bimbingan dalam manajemen usaha batik dan perluasan pasar batik serta pemberian pinjaman modal Rp50 juta dengan bunga yang ringan.

"Dengan bantuan modal tersebut, terbangun beberapa galeri di beberapa kota besar di Indonesia dan berhasil membina 25 perajin batik yang ada di sekitar rumah," jelasnya.

Lebih lanjut, Sri Lestari mengungkapkan, dari pendapatan per bulan dengan bisnis batiknya yang kini merambah ke berbagai negara, dalam satu bulannya mampu mendapatkan omzet hingga Rp495 juta.

"Pada awal kami merintis usaha batik, omzetnya masih kecil. Hanya kisaran di bawah Rp10 juta, tetapi kini sudah mencapai ratusan juta," ujarnya merendah.

Ditambah, omzet dari pameran-pameran batik yang diikutinya, baik sifatnya nasional maupun internasional. Sri mengaku bahwa dalam satu bulannya masih mendapatkan tambahan pemasukan sekitar Rp35 juta hingga Rp140 juta untuk sekali pameran.

"Dengan pendapatan itu, kami mampu membayar pegawai minimal Rp1 juta per bulan di atas UMP Provinsi DIY yang masih di bawah Rp1 juta. Sedangkan untuk pegawai freelance, mereka mendapatkan komisi dari batik yang dijual," tuturnya. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya