Industri Mamin Lokal Tolak Proses Investigasi Anti Dumping

Produk minuman siap ekspor.
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Sejumlah asosiasi industri makanan dan minuman pengguna polyethelen terephalate (PET) yang tergabung dalam Lintas Asosiasi Makanan dan Minuman meminta proses investigasi anti dumping atas impor bahan plastik itu dihentikan.
Ironi Perburuan Badak Jawa di Kawasan Konservasi Ujung Kulon, Cula Dijual Rp 280 Juta

"Kami meminta pemerintah agar menghentikan proses investigasi," kata Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Franky Sibarani, dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu 25 September 2013.
Sukses Gelar MotoGP, Sirkuit Mandalika Jadi Magnet Pariwisata Olahraga

Sebelumnya, sejumlah produsen PET dalam negeri, PT Indorama Synthetic Tbk, PT Indorama Ventures Indonesia, dan PT Polypet Karyapersada mengajukan petisi anti dumping kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Menyelami Dampak Negatif FOMO pada Pengguna Media Sosial

Dalam petisi yang diajukan tersebut, diduga impor PET dari Singapura, Taiwan, China, dan Korea Selatan menerapkan harga yang lebih murah daripada industri dalam negeri.

Menurut Franky, harga PET impor masih lebih tinggi daripada harga PET dalam negeri yang diproduksi oleh petisioner dalam negeri. Secara rata-rata, petisioner menaikkan harga sebesar 15,3 persen selama tiga tahun, sedangkan harga impor dari negara yang diajukan sebesar 24,5 persen.

"Tidak ada hubungan kausalitas antara dugaan kerugian dan PET impor yang diinvestigasi," kata dia.

Menurut GAPMMI, industri makanan dan minuman dalam negeri menyumbang kurang lebih 10 persen produk domestik bruto (PDB) nasional. Pada 2012, permintaan atas bahan kimia ini sebanyak 156 ribu ton dan pada tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 177 ribu ton.

Sementara itu, produksi pada 2012 sebanyak 417 ribu ton dan meningkat menjadi 467 ribu ton pada 2013. Namun, ekspor bahan ini lebih besar daripada konsumsi dalam negerinya.

"Setiap tahun, ekspor PET Indonesia mencapai 250 ribu ton, sedangkan yang dipakai hanya 167 ribu ton, sehingga terjadi defisit pasokan," kata dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Kebijakan Umum GAPMMI,  Rahmat Hidayat, mengatakan, pengusaha makanan dan minuman dalam negeri juga menolak adanya pengenaan bea masuk anti dumping PET, apabila tuduhan anti dumping itu terjadi.

Mereka beralasan bahwa pengenaan biaya impor tersebut bisa berakibat pada harga makanan dan minuman. Sebab, plastik merupakan bahan yang sering digunakan dalam industri ini.

Saat ini, Komite Anti Dumping Indonesia tengah menyelidiki tuduhan terhadap impor PET dari Singapura, Taiwan, China, dan Korea Selatan yang harganya lebih murah daripada industri dalam negeri. Apabila tuduhan itu terbukti, pihak KADI akan menerapkan bea impor. Perlu diketahui bahwa bea anti dumping bahan plastik ini sebesar 0 persen.

"Dampaknya beragam dari industri makanan dan minuman. Misalnya, bea masuk anti dumping (diberlakukan) sebesar 10 persen, akan berdampak pada harga 10-15 persen," kata Rahmat.

Lagipula, mereka juga menganggap bahwa penerapan bea ini justru memukul industri makanan dan minuman. Apalagi situasi perekonomian Indonesia belum mendukung sepenuhnya untuk pertumbuhan industri sektor ini.

"Impor kita turun 10 persen, karena pasar seperti Amerika dan Jepang belum pulih. Puasa dan Lebaran kemarin juga belum menggembirakan. Biasanya, kenaikan setiap tahun sebesar 20-30 persen, tetapi tahun ini hanya 10 persen," kata Sekjen GAPMMI, Franky Sibarani.

Tidak hanya itu, pelemahan rupiah juga bisa memukul daya beli masyarakat. "Dengan rupiah yang melemah (kondisi) ini bisa memukul daya beli masyarakat di Indonesia, terutama di luar Jawa," tambahnya. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya