Kaleidoskop 2013:

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah

Mata uang.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami depresiasi sangat dalam pada 2013.

Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis oleh Bank Indonesia, 20 Mei 2013 posisi rupiah di level 9.760 per dolar AS. Data terakhir kurs, 24 Desember 2013, rupiah anjlok ke level 12.215 per dolar AS. Jika dibandingkan dari kedua level itu, maka kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai 25 persen.

Pelemahan rupiah terjadi secara gradual atau bertahap. sampai Juni 2013, gerakan rupiah masih berada di kisaran level 9.800 hingga 9.900 terhadap dolar AS. Di sini, sebenarnya kegelisahan mulai muncul. Pemerintah dan bank sentral sebagai otoritas terkait diharapkan mampu menjaga rupiah tak naik menembus level 10.000 per dolar AS.

Namun, tren pelemahan rupiah terus meningkat. Sampai apa yang dikhawatirkan itu justru terjadi. Kurs referensi mematok rupiah di level 10.024 per dolar AS pada 15 Juli 2013.

Pemerintah menyatakan penguatan mata uang dolar AS terjadi di semua negara kawasan Asia dengan pasar sedang berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia. Pemicunya adalah kebijakan Federal Reserve selaku bank sentral AS yang akan menarik dana stimulus moneter yang nilainya mencapai US$85 miliar per bulan untuk pembelian obligasi. Langkah The Fed ini didasari pertimbangan bahwa kondisi perekonomian AS kini sudah mulai pulih. Sebelumnya, ekonomi AS mengalami krisis setelah banyak kredit macet di pembiayaan sektor properti pada 2008.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Selasa 16 Juli 2013, menilai bahwa kebijakan pemulihan ekonomi AS menjadi pemicu utama pelemahan mata uang negara-negara kawasan Asia.

Menurut Hatta, kondisi ini hanya berlangsung sementara dan dalam waktu dekat rupiah akan kembali menguat.

"Jadi, ini bukan karena fundamental kita tidak baik. Tapi, lebih karena penguatan dolar dan situasi makro ekonomi dunia," ujar Hatta di kantornya, Jakarta.

Hatta berharap masyarakat tidak terlalu cemas dengan posisi rupiah saat ini. Karena, upaya intervensi di pasar uang demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ini terus dilakukan.

"Jangan anggap Rp10.000 per dolar AS itu angka psikologis. Tidak ada itu angka psikologis," kata Hatta. Selengkapnya, klik .

Namun, berselang tak sampai dua bulan kemudian, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS justru lebih dalam lagi. Pada 4 September 2013, kurs rupiah di pasar spot dipatok pada level 11.093 per dolar AS.

Kemudian, pada Desember posisi rupiah akhirnya rupiah tembus level 12.000 terhadap dolar AS. Kurs referensi JISDOR 11 Desember 2013 menetapkan rupiah di level 12.005 per dolar. Mulai dari situ, grafik pergerakan rupiah di perdagangan pasar spot semakin tinggi. Hingga data terakhir, 24 Desember 2013, rupiah berada di level 12.215 per dolar AS.

Nilai yang wajar
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, Sabtu 28 Desember 2013, menyatakan bahwa penyebab pelemahan rupiah dan mata uang negara emerging market lainnya di tahun ini adalah ketidakjelaskan kebijakan The Fed untuk membatasi dana stimulus moneternya.

"Ada faktor eksternal, dari tapering di AS yang tidak pasti jadi sentimen negatif," ujar Aviliani kepada VIVAnews.

Di sisi lain, faktor internal juga mendorong pelemahan rupiah lebih dalam. Pada setiap pertengahan tahun utang luar negeri swasta banyak yang jatuh tempo. "Utang ini cukup besar, besarannya mencapai US$38 miliar," kata Aviliani.

Namun, menurut Aviliani, kurs rupiah di level 12.000 terhadap dolar AS merupakan nilai tukar yang wajar. Krisis yang menimpa AS dan Eropa pada 2008, memaksa otoritas keuangan terkait di kedua kawasan itu memberlakukan pengetatan moneter.

PDIP Bisa jadi Oposisi, Bantu Pemerintah Mengkoreksi Bukan Saling Berhadapan

Situasi ini menyebabkan para pemilik modal melarikan dananya untuk investasi di luar AS dan Eropa. Negara berkembang, terutama Asia, menjadi sasaran utama. "Sehingga banyak uang beredar dan masuk kawasan emerging markets," kata Aviliani.

Oleh karena itu, ia menambahkan, pemulihan nilai tukar rupiah sepanjang 2009 hingga 2011 tidak mencerminkan kondisi fundamental perekonomian RI. Karena pada saat itu Indonesia menikmati "berkah" atas dana para pemodal asing itu yang masuk dalam berbagai bentuknya, termasuk investasi langsung (foreign direct investment).

"Rupiah terapresiasi saat itu, karena banyak dana asing masuk Indonesia. Tapi kan sifatnya hanya sebenarnya hanya sementara, semacam bonus," kata Aviliani.

Sayangnya, menurut dia, momentum apresiasi rupiah itu tidak digunakan untuk perbaikan infrastruktur perekonomian Indonesia. Karena nilai tukar yang baik, impor justru makin tinggi.

Padahal, untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, bukan hanya mengandalkan kekuatan konsumsi sebagai penopang utama. Investasi juga harus semakin ditingkatkan.

"Makanya saya bilang, rupiah di posisi 12 ribu per dolar AS itu sebenarnya batas yang memang wajar. Karena struktur perekonomian kita belum memungkinkan untuk menguat," kata Aviliani.

Eskpor Indonesia sebagian besar merupakan komoditas atau barang mentah. Menurut Aviliani, porsi barang mentah dalam neraca ekspor Indonesia mencapai 80 persen. Ini yang membuat nilai ekspor Indonesia tergolong kecil.

Jika dibandingkan dengan India, ekspornya sebagian besar berupa barang jadi. Porsi barang jadi dalam ekpsor India lebih dari 60 persen.

"Dengan melihat ini, saya tidak heran jika nilai ekspor India lebih bagus. Defisit perdagangan mereka membaik," kata Aviliani.

pada Agustus lalu, namun menurut Aviliani, kualitas beban penanganan pemerintah dan bank sentral kedua negara itu berbeda.

2014 terancam krisis
Pemerintah diharapkan dapat segera melakukan langkah perbaikan untuk membenahi masalah defisit neraca perdagangan RI. Jika defisit semakin justru semakin besar di 2014, maka beban depresiasi rupiah akan semakin berat.

Menurut Aviliani, tahun 2014 menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menangani persoalan "pekerjaan rumah" yang besar itu.

"Kalau pemerintah tak mampu menjaga rupiah di level 12 ribu per dolar, kita bisa masuk krisis," kata Aviliani.

Karena, ia menjelaskan, depresiasi mata uang yang lebih dari 12 persen hingga 15 persen itu sebenarnya merupakan sinyal mengkhawatirkan. "Itu bahaya. Karena sudah menunjukkan kita sudah tidak ada fund, defisit parah," kata Aviliani.

Untuk menahan agar nilai tukar rupiah tak semakin jeblok hingga menembus level 13.000 per dolar AS, Aviliani menyarankan, pemerintah mengatur arus masuk dan keluar kas.

"Harus atur capital ouflow dan capital inflow. Karena kita tidak mungkin menaikkan ekspor," kata Aviliani.

Penerapan UU Minerba pada tahun 2014 yang melarang industri pertambangan mengekpsor bahan mentah, kata Aviliani, jelas akan membuat ekspor Indonesia turun. "Perusahaan tambang tidak mungkin bisa bangun pabrik dalam jangka setahun. Jika defisit perdagangan makin tinggi, ini mengancam rupiah," kata Aviliani.

Devisa hasil ekspor, ia melanjutkan, harus ditempatkan di dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan memberi keyakinan kepada para pengusaha dan pengekspor untuk bersedia menyimpan dananya di bank dalam negeri.

"Perlu dijamin agar dana mereka selalu ada. Pemerintah harus membujuk mereka mau menyimpan uang di dalam negeri, beri keyakinan bahwa menaruh uang di Indonesia itu aman," kata Aviliani.

Hal ini penting demi menjaga cadangan devisa tak menyusut terlalu banyak saat permintaan pasar tinggi.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa mendorong restrukturisasi utang luar negeri swasta agar tak jatuh tempo secara bersamaan. "Utang luar negeri swasta itu sekitar US$38 miliar jatuh tempo setiap tahun. Ini harus diatur juga agar jangan sampai jatuh tempo tidak pas suplai sedang minim," kata Aviliani. (eh)

Singapore Tourism Board Memperbaharui Kemitraan dengan GDP Venture

Singapura Siap Sambut Kembali Wisatawan! STB dan GDP Venture Perbarui Kemitraan

Hasil dari kerjasama ini, ia akan mendorong kuat minat para wisatawan Indonesia untuk berwisata ke Singapura.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024