Lulusan ITB Malah Jadi Wartawan

VIVAnews - Penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih rendah dikarenakan ketersediaan angkatan kerja tidak sesuai dengan kebutuhan kerja. 

"Tidak ada titik temu antara yang dibutuhkan dengan yang disuplai," kata pengamat ketenagakerjaan dari Amprop Fever Irham Dilmi di Jakarta, Selasa malam, 14 April 2009.

Tidak adanya titik temu itu ditengarai karena minimnya komunikasi antara pencetak tenaga kerja dengan pemberi kerja. "Kalau sekolah-sekolah berpikir mau cetak lulusan yang dipakai di pasar kerja, seharusnya selalu melakukan kontak dengan pemberi kerja apa yang sebenarnya mereka butuhkan," ujarnya.

Dalam kata lain, permintaan kerja terlebih dahulu baru disuplai tenaga kerja sesuai pekerjaannya. "Misalnya, sekolah IT sekarang masih banyak tapi lulusannya tidak bisa terserap karena dulu memang banyak dibutuhkan, tapi sekarang permintaan hanya sedikit," ujarnya.

Menurut Irham, jangan sampai terjadi kelebihan suplai di satu sektor tertentu. "Di negara maju seperti Amerika, selalu disetel mana yang kelebihan suplai maka sekolahnya dikurangi," kata dia.

Begitupun dengan konsep link and match menurutnya belum bisa diterapkan di Indonesia. "Konsep ini hanya bisa terjadi di negara-negara maju di mana semua spesialisasi sudah dijalankan," ujarnya. Semisal, lulusan sekolah pertanian akan langsung masuk ke dunia pertanian.

"Di Indonenesia kan tidak. Lulusan Institut Pertanian Bogor ada yang kerja di bank atau sekolah di Institut Teknologi Bandung tapi malah jadi wartawan," ujarnya.

Menurutnya, yang terpenting adalah adanya pendidikan cukup tinggi yang menghasilkan pemahaman yang umum. "Indonesia belum terlalu perlu konsep spesialisasi seperti di Jepang, Jerman, atau Amerika," ujarnya. Yang terpenting, dia mengatakan, adanya peningkatan kemampuan intelegensia.

Sisterhood Modest Bazaar, Berburu Baju Lebaran Hingga Menu Berbuka
Kepala BNPT Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel

Senada dengan BNPT, Guru Besar UI Sebut Perempuan, Anak dan Remaja Rentan Terpapar Radikalisme

Guru Besar Fakultas Psikologi UI Prof. Dr. Mirra Noor Milla, sepakat bahwa perempuan, anak-anak, dan remaja rentan terpapar radikalisme, seperti paparan BNPT

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024