Indonesia Miskin Plasma Nutfah Sayuran

sayuran segar
Sumber :
VIVAnews - Industri pertanian hortikultura di Indonesia ternyata bergantung dengan pasokan plasma nutfah dari luar negeri. Ketergantungan itu terutama untuk membuat varietas hibrida yang tahan penyakit dan memiliki kualitas serta kuantitas produksi tinggi. Sebab, Indonesia sejatinya miskin plasma nutfah sayuran.
Ten Hag Bawa 3 Pemain Man Utd U-18 ke Tim Senior

Demikian pernyataan Prof. Soemarno, pakar pemuliaan tanaman dan sitogenetika (induk ilmu perbenihan), seperti dikutip dari keterangannya saat sidang pengujian UU Hortikultura di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis 24 April 2014.
Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp100 Juta Jadi Tersangka

Menurut Soemarno, Indonesia tidak memiliki plasma nutfah untuk tanaman sayuran yang banyak dikonsumsi, seperti tomat, cabai merah, mentimun, kacang panjang, terong, jagung manis, bawang merah, semangka, dan melon.
Freeport Boss Meets Jokowi to Discuss Mining Contract Extension

"Begitupula untuk tanaman sayuran dataran tinggi, seperti kubis, sawi, wortel, bawang daun, buncis, kapri, brokoli, letus, selada, kentang, Indonesia tidak memiliki plasma nutfah tanaman-tanaman tersebut," ujar Soemarno.

Lebih lanjut, Soemarno menerangkan bahwa keterbatasan Indonesia tersebut, 'tertolong' keberadaan perusahaan multinasional di bidang perbenihan yang memiliki akses plasma nutfah lintas negara. Perusahaan-perusahaan tersebut, dapat mendatangkan varietas unggul/hibrida baru, sumber gen dan plasma nutfah baru, sehingga memajukan usaha tani dan agribisnis sayuran nasional.

"Perusahaan benih sayuran nasional, bahkan dapat memanfaatkan keturunan dari varietas unggul dan plama nutfah yang berasal perusahaan asing guna membangun usaha benihnya dalam merakit varietas unggul baru," katanya.

Menurut Soemarno, perusahaan benih asing/multinasional berbeda dengan perusahaan asing lain yang bergerak di sektor tambang dan mineral yang kegiatan bersifat eksploitatif. Perusahaan benih justru memperkaya keragaman varietas tanaman dengan membawa calon varietas unggul dan donor gen sifat penting dalam bentuk benih bersertifikat yang bisa dimanfaatkan petani untuk meningkatkan produksinya.

"Dengan benih unggul berkualitas internasional yang disediakan perusahaan benih tersebut, petani Indonesia mampu menghasilkan sayuran dengan kualitas dan jenis yang sama dengan sayuran di berbagai negara-negara Asia, bahkan sama dengan produk sayuran negara-negara Eropa," ujar Soemarno.

Petani Mengamini

Penjelasan pakar ilmu perbenihan tersebut diamini oleh Totok, petani sayuran asal Indramayu, Jawa Barat. Totok yang juga hadir di persidangan menerangkan keberadaan perusahaan benih multinasional 'menyelamatkan' ia setelah bangkrut akibat gagal panen.

Menurutnya, perkenalannya dengan benih unggul berkualitas dari perusahaan benih asing membuatnya kembali bangkit dan kini menjadi petani yang menjadi rujukan, sekaligus penyedia tanaman unggul berkualitas bagi ratusan petani sayuran di Indramayu hingga Bekasi.

Totok menjelaskan, petani saat ini sudah pintar dan tidak bisa dibohongi. Petani bisa membedakan mana benih yang berkualitas dan tidak. Kenyataannya benih unggul dari perusahaan asinglah yang saat ini menjadi pilihan, karena bisa memberikan keuntungan besar buat petani.

Ia mengaku sudah kapok menggunakan benih lokal yang tidak jelas asal-usulnya, namun hasilnya mengecewakan.

"Saya lebih baik tidak menanam sayuran jika tidak mendapat benih unggul berkualitas yang selama ini saya tanam. Saya tidak ingin reputasi yang sudah bertahun-tahun dibangun sebagai penyedia tanaman berkualitas hancur gara-gara benih yang tidak jelas," katanya.

Sementara itu, pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Bungaran Saragih mendukung pembatasan investasi asing sebesar 30 persen di bidang Hortikultura. Namun, ia menegaskan, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan khususnya di sektor perbenihan hortikultura.

Sektor perbenihan, kata Bungaran, nilainya sangat kecil atau sekitar satu persen dari total pasar hortikultura nasional yang nilainya sekitar Rp100 triliun per tahun. Tetapi, sektor perbenihan yang kecil tersebut sangat menentukan hasil akhir dari industri hortikultura. Jika benih yang tersedia kualitasnya buruk, hasil industri akan rusak dan impor akan semakin besar.

Belum Mampu

Bungaran, yang juga mantan Menteri Pertanian, menegaskan bahwa industri benih sayuran nasional saat ini belum mampu mengisi dan menyediakan benih unggul berkualitas.

"Salah besar jika pembatasan investasi 30 persen itu diberlakukan untuk sektor benih hortikultura. Jangan kita menggunakan dalih kedaulatan pangan dan meributkan nilai yang kecil, tetapi hasilnya justru kemunduran dan kalah bersaing dengan negara lain serta berakibat meningkatkan impor produk asing," kata Bungaran.

Pengujian terhadap UU Hortikultura khususnya pembatasan investasi sebesar 30 persen untuk industri benih sayuran di MK diajukan petani sayuran dan asosiasi perusahaan benih hortikultura yang khawatir akan ketersediaan benih unggul berkualitas.

Pemerintah telah memberikan keterangan kepada majelis hakim pada persidangan sebelumnya. Dalam keterangannya, Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian Hasanudin Ibrahim mengatakan pembatasan investasi tersebut untuk mewujudkan kedaulatan pangan. (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya