Ini Lima Masukan Pengusaha Terkait Rancangan UU Pertanahan

Penyusutan Lahan Resapan Air
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews
Saksi Ungkap SYL Setoran Uang Bulanan ke Istri Hingga Puluhan Juta
- Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang RealEstate Indonesia (REI) mengungkapkan bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang saat ini ada di DPR tidak akan menyelesaikan permasalahan lahan.

Sudah Menjenguk, Ayah Chandrika Chika Gak Nyangka Anaknya Pakai Narkoba

REI menilai, dalam RUU tersebut masih ada beberapa aturan yang harus diharmonisasi agar menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Temui Presiden Jokowi di Istana


Ketua Umum DPP REI, Eddy Hussie, Selasa 6 Mei 2014, mengungkapkan bahwa REI melakukan beberapa kajian yang bisa menjadi masukan bagi DPR dari pengusaha.


"Setidaknya, ada lima permasalahan pertanahan yang masih belum sempurna dalam RUU Pertanahan," katanya, saat ditemui dalam seminar RUU Pertanahan di Hotel Atlet Century, Jakarta.


Pertama, Eddy menjelaskan, yakni pembatasan luas lahan untuk perumahan. Seharusnya, pembatasan lahan merupakan kewenangan pemerintah daerah karena sejalan dengan otonomi daerah. Jika hal itu diatur dalam UU, akan terjadi tumpang tindih regulasi.


Kedua, RUU menyebutkan adanya pelibatan masyarakat dalam pembuatan
master plan
pengembangan kawasan. Padahal, kata Eddy, rencana pengembangan kawasan sudah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat pemda bersama DPRD.


Saran yang ketiga, adalah masalah pembatasan penguasaan lahan. Dia menjelaskan, hal itu karena pengembang bukan spekulan. Menurutnya, pengembang melakukan usaha pengembangan melalui pematangan tanah dan bangunan.


Eddy menuturkan, pengembang menyerahkan 40 persen dari total lahan kepada pemda sebagai fasilitas sosial dan fasilitas umum. Selain itu, 60 persen lahan juga dikembalikan untuk dijual kepada masyarakat. "Jadi, seharusnya tidak ada pembatasan penguasaan lahan," ujarnya.


Poin keempat yang dipermasalahkan adalah hak atas tanah. Dia mengungkapkan, pembatasan dapat lebih dulu dilakukan secara bertahap, misalnya orang asing tidak boleh membeli perumahan rakyat.


"Era globalisasi sekarang, adanya proses
nominee
di Indonesia akan merugikan negara," ujarnya.


Dia menambahkan, masalah kelima terkait kesetaraan status hak pakai dengan hak guna bangunan (HGB). Menurutnya, meskipun hak pakai tertulis dapat diberi hak tanggungan, tetapi dalam prakteknya hak pakai masih berstatus lebih rendah dari HGB.


Untuk itu, kata Eddy, diperlukan ketegasan Bank Indonesia untuk menjalankan ketentuan ini, sehingga hak pakai menjadi setara dengan HGB dalam hal pembiayaan dari perbankan. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya