- ANTARA/Rosa Panggabean
VIVAnews - PT Pertamina memaparkan alasan mengapa harga bahan bakar minyak (BBM) yang disalurkan perusahaan pelat merah itu tinggi di beberapa daerah. Salah satunya adalah kondisi infrastruktur di daerah-daerah tertentu.
Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Pertamina, Suhartoko, Senin 16 Juni 2014, mengatakan bahwa selama tahun lalu perusahaan telah menyalurkan sekitar 60 juta kiloliter BBM, baik untuk retail PSO dan non PSO serta industri, hingga nelayan.
Untuk menyalurkan itu, ada beberapa jenis infrastruktur yang mendukung Pertamina, seperti 200 kapal tanker, 6.600 outlet stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), jalur pipa transmisi, serta 112 terminal BBM, dengan total kapasitas terpasang 4,72 juta KL.
"Dengan penugasan untuk mendistribusikan BBM ke seluruh Tanah Air, maka hal ini mengambil sekitar 70 persen dari seluruh aktivitas Pertamina. Tentunya, ini merupakan bagian dari sumbangsih perusahaan dalam menyediakan energi untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang menjangkau pelosok negeri," kata Suhartoko dalam keterangan tertulisnya.
Menurut dia, dengan tren konsumsi BBM yang terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, perusahaan pelat merah itu mengklaim mengembangkan infrastruktur untuk memastikan kebutuhan BBM masyarakat dapat terpenuhi. Untuk itu, katanya, Pertamina telah merencanakan adanya beberapa penambahan fasilitas distribusi BBM.
Suhartoko mencontohkan untuk fasilitas penampungan BBM, Pertamina menargetkan penambahan kapasitas penampungan BBM sebesar 1,25 juta KL menjadi 5,97 juta KL hingga 2018, yang tersebar di Indonesia bagian timur, tengah, maupun barat.
"Untuk fasilitas retail, Pertamina tahun ini akan menambah sebanyak 226 outlet, mulai dari SPBU, APMS, serta SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan)," kata dia.
Suhartoko menjelaskan, untuk mendistribusikan BBM hingga ke pelosok negeri banyak tantangan yang harus dihadapi. Di beberapa daerah, bahkan infrastruktur dasar masih kurang baik dan terbatas.
Kemudian, tantangan alam seperti cuaca buruk, mengingat wilayah Indonesia sekitar 70 persen di antaranya adalah perairan laut dan sungai. Di sisi lain, konsumsi BBM untuk wilayah-wilayah tersebut, skala keekonomiannya kecil sehingga menjadikan wilayah tersebut kurang menarik untuk investor.
"Untuk itu, banyak badan usaha yang tidak mau memberikan pelayanan ke daerah-daerah seperti itu karena memang kurang menjanjikan keuntungan buat mereka. Dalam kondisi seperti itu, peran pemerintah daerah dalam membangun infrastruktur untuk penyediaan energi menjadi sangat penting," kata dia.
Salah satu contoh yang terjadi di Papua, lanjut Suhartoko, Pertamina harus melibatkan banyak moda transportasi mulai dari tanker, ditransfer ke tongkang, hingga diangkut dengan pesawat.
Di Kalimantan Barat, ketika memasuki musim kemarau maka sungai Kapuas mengalami pendangkalan sehingga distribusi BBM dari Pontianak menuju Depot Sintang yang biasanya dapat dilalui kapal, harus menggunakan truk tangki yang memakan waktu lebih dari 10 jam.
"Hal-hal tersebut, tentunya menjadikan biaya distribusi menjadi lebih mahal. Itu semua harus dilakukan demi mengantarkan BBM agar dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat," kata dia. (adi)