Sumber :
- VIVAnews/ Muhamad Solihin
VIVAnews
- Komisioner Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Ibrahim Hasyim, mengaku pihaknya tak serta-merta memberlakukan kebijakan larangan penjualan diesel atau populer disebut solar di Jakarta Pusat. Pihaknya terlebih dahulu merisetnya terlebih dahulu.
Hasilnya, kata Ibrahim ketika dihubungi VIVAnews pada Jumat, 1 Agustus 2014, keuntungan penjualan solar di SPBU Jakarta Pusat lebih kecil daripada di wilayah lainnya.
Baca Juga :
Kebutuhan Green Job 2030 Diproyeksikan Capai 4,4 Juta, Prakerja Siapkan Pelatihan Green Skills
Baca Juga :
Pembobol Brankas Pengusaha Ayam Senilai Rp270 Juta Ternyata Sepupu Korban, Motifnya Bikin Geram
Hasilnya, kata Ibrahim ketika dihubungi VIVAnews pada Jumat, 1 Agustus 2014, keuntungan penjualan solar di SPBU Jakarta Pusat lebih kecil daripada di wilayah lainnya.
"Sebelum ditentukan, kami sudah melakukan peneropongan. Di Jakarta Pusat, omzet solarnya satu per sepuluh dari SPBU di luarnya," katanya.
Sayangnya dia tak menyebutkan jumlah omzetnya. Ia hanya mengatakan per hari penjualan hanya 3-4 ton solar saja.
"Jadi, kecil sekali. Tidak banyak konsumen solar di sana," kata Ibrahim.
Lanjutnya, hal tersebut juga dipengaruhi oleh larangan angkutan besar masuk ke Jakarta Pusat. Yang kebanyakan membeli bahan bakar di daerah tersebut adalah angkutan kota yang berbahan bakar premium.
"Kendaraan yang gede-gede itu sulit isi di Jakarta Pusat karena lokasinya kecil. Bus-bus atau segalanya tidak bisa. Sedikit sekalilah konsumen solar di sana. Makanya, kami memberlakukan ," kata dia.
Di samping itu, BPH Migas mengklaim kebijakan ini tidak akan bermasalah. "Aman-aman saja. Koordinasi dengan Organda dari jaman dulu. Kami sudah paham cara mereka isi (BBM) di mana. Kalau yang bertebaran itu, angkutan kota yang pakai premium," katanya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Sebelum ditentukan, kami sudah melakukan peneropongan. Di Jakarta Pusat, omzet solarnya satu per sepuluh dari SPBU di luarnya," katanya.