Pengusaha Gulung Tikar, Ini Pekerjaan Rumah Pemerintah

Pekerja perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara
Sumber :
  • REUTERS/Y.T Haryono/Files
VIVAnews
Arema FC Dalam Motivasi Tinggi Saat Melawan PSM 
- Regulasi ketenagakerjaan dianggap mengurangi daya saing perusahaan, karena dalam eksekusinya tidak sesuai dengan harapan.

Komisi II DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Ketua Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, mengatakan bahwa selama ini yang terjadi adalah aturannya ada, tetapi kenyataannya yang dilakukan justru menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan, terutama untuk padat karya.
J&T Express Kembali Hadirkan J&T Connect Run 2024, Tiket Telah Resmi Dijual


Industri perkebunan atau kelapa sawit, lanjutnya, adalah bagian dari padat karya, yang saat ini sedang menghadapi beragam isu utama. Antara lain, tingginya ongkos ketenagakerjaan, upah minimum, regional dan sektoral, masalah alih daya dan jaminan sosial.

"Selama ini, memang mereka kelihatannya tenang-tenang saja, mungkin komunikasinya baik. Tetapi, saat di area mereka ada kenaikan UMP (upah minimum provinsi) secara 'gila-gilaan', mustahil mereka tidak kena imbasnya," saat ditemui VIVAnews , di gelaran '10th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2015 Price Outlook' di The Trans Luxury Hotel, Bandung, Kamis 27 November 2014.


Untuk itu, Hariyadi menyarankan, setiap perusahaan atau pengusaha sebaiknya mengantisipasinya, dengan melakukan otomatisasi dan intensifikasi produk, supaya output yang dihasilkan dapat lebih besar.


"Intinya adalah mengurangi secara bertahap ketergantungan mereka (pengusaha) yang sangat besar terhadap tenaga kerja," imbuhnya.


Daerah jadi fokus


Hariyadi menjelaskan, wilayah-wilayah perkebunan seperti Sumatera Utara, Riau, Aceh, Kalimantan, dan Sumatera Selatan, yang merupakan kantong-kantong dengan penggunaan tenaga kerja besar harus menjadi perhatian pemerintah.


"Secara keseluruhan kalau bicara nasional, rata-rata upah minimum untuk buruh sudah sekitar Rp1,8-2 juta. Namun, tiap provinsi tentu beda-beda jumlah UMP-nya, seperti di Jakarta yang berbeda dengan Bekasi, misalnya," tuturnya.


Dalam hal ini, dia berharap, pemerintah dapat menganalisa dan mengkaji lebih dalam lagi, apakah dalam suatu daerah masih banyak warga setempat yang membutuhkan pekerjaan di padat karya (perkebunan), atau tidak.


"Pemerintah harus melakukan konfirmasi langsung di lapangan. Kalau memang rakyatnya masih butuh bekerja di industri padat karya, pemerintah harus bisa berikan jaminan supaya industri tersebut dapat berjalan dengan baik." sambungnya.


Kalaupun pemerintah setempat akhirnya memberlakukan kenaikan upah minimum, dia menegaskan, harus disesuaikan dengan tingkat kekuatan dari perusahaan itu sendiri.


Pengusaha mebel


Dia mencontohkan, temannya yang merupakan pengusaha mebel di Mojokerto, Jawa Timur, yang merasa sudah tidak kuat berbisnis di Indonesia karena adanya kenaikan upah buruh.


"Loh, kalau dia mau tutup usahanya, terus gaji karyawan-karyawannya bagaimana? Orang seperti ini, tepatnya sudah putus asa. Sebab, di satu sisi kalau tutup tetap harus bayar karyawannya dan kalau jalan terus, maka dia sudah tidak punya uang lagi," ungkapnya.


Berkaca dari kejadian temannya itu, Hariyadi meminta kepada pemerintah untuk serius menangani masalah mengenai ketenagakerjaan.


Selain itu, aturan-aturan tentang kepastian hukum untuk lahannya pun harus diperhatikan, karena masih menimbulkan masalah.


"Untuk tahun depan, masih belum ada guncangan. Namun, 2016, baru akan menemui banyak masalah terkait ketenagakerjaan di industri perkebunan kelapa sawit, karena kenaikan upah di sekitarnya, baik kabupaten atau kota sudah tinggi," tambah Hariyadi.


Pekerja di Malaysia


Di sisi lain, Komisaris PT Sinar Citra Cemerlang, Sumarjono Saragih mengungkapkan, apa yang terjadi di Malaysia patut menjadi pembelajaran bagi para pekerja di Indonesia.


Menurut dia, kalau di Malaysia, satu orang pekerja bisa menangani lahan seluas delapan hektare. Sedangkan, di Indonesia, dengan jumlah pekerja yang sama hanya mampu menangani lahan seluas empat hektare saja.


Kemudian, lanjutnya, apabila ada kenaikan upah, kualitas produktivitas dari pekerja di Malaysia sebanding dengan upah yang diterimanya.


"Di Malaysia itu, upahnya dinaikkan, hasil dari produktivitas seorang pekerja yang bersangkutan pun ikut meningkat. Beda dengan pekerja di Indonesia," ujarnya.


Sebagai informasi, mengenai besarnya upah 2014, mengalami kenaikan sebesar 16,89 persen. Dengan kenaikan tersebut, maka ongkos produksi yang harus ditanggung untuk upah adalah antara 31,24-32,74 persen.


Sementara itu, untuk 2015, diperkirakan kembali naik sebesar 10 persen. Angka ini masih belum final, karena masih ada serikat buruh yang masih belum menerima dan memaksa untuk melakukan perubahan. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya