Hapus Premium Berpotensi Hancurkan Bisnis Pertamina

Premium Habis di SPBU Depok
Sumber :
  • VIVAnews/Zahrul Darmawan (Depok)

VIVAnews - Pemerintah harus menimbang ulang usulan Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) terkait penghapusan premium RON 88. Pasalnya, kebijakan itu berpotensi 'menghancurkan' bisnis bahan bakar minyak (BBM) Pertamina.

Heboh Kasus Korupsi Rp3.000 T dari Rafael Alun yang Mengalir ke 25 Artis, Begini Faktanya

Presiden Konfederasi Serikat Pekerta Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra mengatakan, pemerintah dan elit politik di Indonesia mafhum, kilang milik Pertamina adalah kilang tua yang hanya mampu menghasilkan produksi RON 92-96 sebesar 200.000 barel per bulan.

Di samping RON 92, kilang Pertamina juga menghasilkan Naptha dengan RON sekitar 75 sejumlah 3,5 juta barel per bulan. Naptha merupakan material pokok yang  akan diblending dengan RON 92 sehingga  menjadi premium RON 88.

Bernard van Aert Tambah Wakil Indonesia di Olimpiade 2024

"Karena RON 92 yang dihasilkan kilang Pertamina terbatas, maka diimpor RON 92. Hal Ini, justru akan menaikkan cost produksi BBM Pertamina. Jika  Premium RON 88 dihilangkan, maka product valuable kilang Pertamina jadi jeblok, hancur," ujar Faisal dalam keterangan tertulisnya kepada VIVAnews, Senin 22 Desember 2014.

Menurut dia, pihak asing akan menangguk untung jika pemerintah melaksanakaan rekomendasi TRTKM tersebut. Apalagi, mereka tak punya kewajiban dan kemauan untuk suplai BBM ke pelosok Tanah Air.

"Pesaing Pertamina yang ada saat ini memilih atau mau jualan BBM hanya di kota-kota besar saja. Asing dan swasta nasional lebih memikirkan 'untung' dan nyaris tidak bersedia 'berkorban' buat kepentingan masyarakat dengan 'jualan' BBM di pelosok-pelosok terpencil di  Tanah Air," ujarnya menambahkan.

Pemerintah harus bijak

Sosok Jenderal Termuda di TNI, Ternyata Lulusan Akmil 1999 dan Berusia 47 Tahun

Faisal meminta, pemerintah memikirkan hal itu secara serius. Sebab, asing dapat merajalela di atas kesulitan Pertamina yang pada dasarnya adalah  perusahaan milik rakyat, milik bangsa.

Ia menyatakan tidak antiasing. Namun, BBM adalah produk yang terkait langsung dengan hajat hidup rakyat. Untuk itu, pemerintah harus menjauhkan kesan akan memberikan kesempatan bagi asing merajalela, menguasai bisnis migas di Indonesia.

"Kita sama-sama tahu, perusahaan migas milik asing begitu mudah buat SPBU di negeri ini. Tidak ada syarat-syarat khusus bagi mereka dalam membangun SPBU nonsubsidi. Sementara, ketika Pertamina ingin bangun  SPBU di Kuala Lumpur dan Serawak saja, harus penuhi berbagai syarat yang mustahil untuk kita  penuhi. Tapi buat perusahaan asing malah dengan mudahnya membangun SPBU di negeri ini dan terkesan mendapat keringanan," ujarnya.

Pemerintah seharusnya membuat aturan resiprokal. Artinya, asing boleh membangun SPBU di Indonesia. Namn, ketika mereka bangun satu SPBU, Pertamina harus bisa bikin outlet BBM di negeri mereka.

"Ini baru fair. Harusnya jadi persyaratan yang ditetapkan pemerintah ketika ada perusahaan asing akan bangun SPBU di negeri kita. Sayanganya, pemerintah kok tidak punya inisiatif seperti itu," ujar Faisal.

Ia menambahkan, jika pemerintah ingin Pertamina besar, penghapusan premium 88 harus dilakukan setelah Pertamina membangun kilang baru dengan complexity tinggi.

Pemerintah harus mendorong Pertamina membangun beberapa kilang dengan kapasitas kumulatif 1,6 juta barel. Setelah kilang baru dibangun dan distribusi BBM sudah terlaksana secara merata, silahkan pemerintah tentukan penghapusan RON 88.

"Tanpa bangun refinery baru dengan complexity yang tinggi maka penghapusan premium RON 88 adalah bencana bagi Pertamina yang merupakan perusahan milik rakyat. Ini harus dihentikan."


Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya