Gejolak Minyak Akhir Tahun, Rusia Dihimpit Arab dan Amerika?

Ilustrasi Kilang Minyak
Sumber :
  • REUTERS

VIVAnews - Ekonomi Rusia tak henti-hentinya menghadapi pukulan. Harga minyak yang merosot dan tak berdayanya nilai tukar mata uang rubel, makin meminggirkan Rusia ke jurang resesi.

Ironisnya, keterpurukan Rusia itu berbarengan dengan pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS). Dunia bisnis dan konsumen AS diselimuti sentimen positif setelah tren penurunan harga minyak dunia di tengah pernyataan Arab Saudi yang tak mau memangkas produksi minyak.

Melimpahnya pasokan minyak yang berakibat pada tergelincirnya harga, juga mampu menggairahkan ekonomi di AS. Akibatnya, dana di beberapa negara "mudik" ke negeri Paman Sam itu.

Pada tahun depan, Rusia setidaknya terancam kehilangan pendapatan sebesar US$80 miliar (Rp960 triliun, kurs Rp12.000/US$), dari ekspor minyak Bumi. Maklum, harga minyak mentah jenis Brent cenderung berkisar di bawah US$60 per barel.

Tren penurunan harga minyak tersebut tak dapat dibendung, menyusul keputusan Arab Saudi untuk tidak memangkas pasokan. Bukan itu saja, keputusan Arab itu diikuti oleh negara-negara eksportir minyak (Organization Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Bahkan, Arab seolah tak ambil pusing saat negara-negara non-OPEC telah mengurangi produksi. "Jika mereka ingin melakukannya (pangkas produksi), tentu Arab Saudi tidak akan memotong (produksi)," ujar Ali al-Naimi, Menteri Perminyakan Arab Saudi, seperti dikutip dari laman Reuters, awal pekan ini.

Negara-negara di jazirah Arab, tampaknya sejalan dengan keputusan Kerajaan. Menteri Perminyakan UEA, Suhail Bin Mohammed al-Mazroui dan Menteri Perminyakan Kuwait, Ali al-Omair, kurang lebih memiliki pendapat senada.

Dan, nyatanya, target produksi OPEC sebanyak 30 juta barel per hari (bph) tidak berubah. OPEC tak mau mengintervensi, dan membiarkan pasar untuk mencari titik keseimbangan sendiri.

Di sisi lain, pasokan minyak AS justru meningkat. Data American Petroleum Institute yang dirilis Selasa menunjukkan, stok minyak mentah AS naik 5,4 juta barel.

Turunnya harga minyak dunia tersebut cukup "dinikmati" oleh AS. Nyatanya, AS merilis laporan peningkatan produk domestik bruto (PDB) yang memicu percepatan pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen.

Sementara itu, indeks dolar juga sempat hampir menyentuh level tertinggi sejak April 2006. Dolar terus menunjukkan kedigdayaannya terhadap mata uang asing lainnya. Penguatan dolar AS tersebut, tentu saja membuat harga komoditas menjadi mahal bagi pemegang mata uang non dolar.

Tentu, dengan harga minyak yang rendah tersebut, ekonomi Rusia kalang kabut. Sebab, menurut data dari Energy Information Administration (EIA) AS, sektor minyak dan gas menyumbang 68 persen dari US$527 miliar total bruto ekspor Rusia pada 2013. Kala itu, minyak dunia dipatok pada kisaran US$108 per barel.

Nikita Mirzani Beberkan Pemicu Kandasnya Jalinan Asmara Hingga Soal Kesetiaan

Laporan ekspor minyak Rusia

Bila harga Brent terus bertahan pada kisaran US$60 per barel selama 12 bulan ke depan, ekspor Rusia dari sektor minyak bakal turun US$95 miliar dari US$174 miliar pada 2013. Setidaknya demikian menurut data dari EIA.

Kasus Pemerasan Firli Bahuri Mandek, Kombes Ade Safri: Pasti Tuntas

Rusia dihukum

Kondisi ini, jelas memunculkan spekulasi bahwa AS dan negara-negara sekutu baratnya telah menghukum Rusia. Harga minyak digunakan sebagai senjata untuk "membunuh" Rusia.

Presiden Rusia, Vladimir Putin tampaknya telah mencium gelagat ini. Pada awal bulan lalu, Putin mengirim dua komandan kunci perminyakan Rusia. Igor Sechin, cheif executive officer (CEO) Rosneft, raksasa minyak Rusia dan Alexander Novek, menteri minyak negeri Beruang Merah dikirim ke Wina.

Keduanya memegang misi untuk melakukan negosiasi dengan negara eksportir minyak pada pertemuan OPEC, November lalu. Tapi, misi negosiasi itu gagal.

Andrew Critchlow, editor komoditas di media Inggris, Telegraph, menyebut Rusia tengah bersengketa dengan AS dan sekutu Barat-nya. Gara-garanya, Rusia ikut campur tangan terhadap krisis di Crimea dan mendukung pemerintahan baru di Kiev, Ukraina.

Selain itu, hubungan Moskow dengan kekuatan Arab seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk juga merenggang. Musababnya, diam-diam Putin telah menawarkan dukungan kepada rezim Suriah, Bashar Assad.

Sebelum pertemuan OPEC, 27 November lalu, Menteri Keuangan Rusia, Anton Siluanov telah memperingatkan kalau negara itu menghadapi krisis ekonomi akibat hilangnya pendapatan karena penurunan harga minyak.

Dia mengatakan, Moskow kehilangan sekitar US$40 miliar per tahun akibat sanksi geopolitik. Kerugian itu bertambah antara US$90 miliar hingga US$100 miliar per tahun, karena harga minyak jatuh sebesar 30 persen. Namun, sampai sekarang, harga terus merosot dan berpotensi memperdalam tingkat kerugian Rusia. (art)

Uruguay dan Indonesia Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal
Dokumentasi BNPB

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

Banjir Lahar Dingin yang dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi di wilayah Gunung Semeru membuat meluapnya debit air Daerah Aliran Sungai (DAS).

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024