Harga Minyak Dunia Takkan Kembali ke Level US$100/Barel

Pangeran Alwaleed bin Talal
Sumber :
  • www.kingdom.com.sa

VIVAnews - Tren penurunan harga minyak dunia masih berlangsung sampai dengan awal 2015. Bukan hanya investor, pelaku industri mulai pesimis dengan prospek harga 'emas hitam' itu dalam beberapa waktu ke depan.

Meski demikian, seperti mengutip dari Marketwatch, Selasa 13 Januari 2015, salah satu orang yang tidak yakin kalau harga minyak mampu menguat dalam skala besar adalah Pangeran Alwaleed bin Talal dari Arab Saudi. Pengusaha kaya raya ini, bahkan menilai prospek minyak sangat buruk sehingga tidak akan mampu lagi menjangkau level psikologisnya.

"Kita tidak akan melihat minyak di level US$100-an per barel lagi," katanya kepada USA Today. Menurut dia, pasar minyak menghadapi skenario terburuk, yaitu peningkatan suplai di tengah berkurangnya permintaan.

Minyak mentah dunia pertama kali menembus level US$100 di tahun 2008 akibat krisis. Banyak pihak memprediksi hasil bumi ini mampu mencetak rekor US$200 per barel dalam waktu yang tidak lama seiring dengan peningkatan industri di Tiongkok dan India.

Kemudian dalam tiga tahun terakhir, harga minyak berkisar di antara US$90 dan US$110 per barel sampai dengan bulan Juli lalu. Sejak itu, harga tidak pernah lagi menguat karena terimbas besarnya suplai minyak dari Amerika Serikat berkat teknologi pengeboran 'shale'.

Pangeran Alwaleed mengakui, kalau koreksi harga minyak dunia merugikan negaranya sendiri, yang dikenal sebagai produsen terbesar dunia. "Satu-satunya yang menyenangkan bagi Arab Saudi, kami bisa melihat banyak perusahaan shale asal AS bangkrut," jelasnya.

Suka atau tidak, pendapat Alwaleed ada benarnya. Penurunan harga minyak memang membuat keuntungan produsen shale asal Amerika berkurang drastis.

Beberapa perusahaan bahkan sudah mati-matian memangkas belanja modalnya untuk tahun 2015. Dan memotong dividen serta mem-PHK pekerja karena pemasukan dari pos penjualan tidak mampu mengimbangi besarnya biaya produksi.

Jika kondisi tidak kunjung membaik, banyak perusahaan migas diperkirakan berhenti operasi. Rystad Energy melaporkan bahwa sudah ada perusahaan minyak shale yang mengurangi aktivitas pengeborannya.

Di pekan pertama 2015, lahan pengeboran Bakken, Eagle Ford dan Permian relatif sepi karena produsen menghentikan proses drilling. Pangeran Alwaleed sendiri melihat minyak pada akhirnya pasti akan rebound dari level rendahnya.

"Tetapi saya rasa mustahil menjangkau lagi level US$100," tambahnya. (one)

Harga Minyak AS Alami Kenaikan Tertinggi Selama Maret
 Ladang minyak di California.

Investor Ragukan Produsen, Harga Minyak Kian Murah

Produsen diragukan komitmennya kurangi pasokan global.

img_title
VIVA.co.id
5 April 2016