100 Hari Jokowi, Ekonomi RI Berada di Antara Dua Pilihan

Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah isu dalam KTT Rusia-ASEAN di Sochi
Sumber :
  • REUTERS/Damir Sagolj
VIVA.co.id
Jokowi: Tax Amnesty Jadi Jawaban Merebut Dana Investasi
- Dalam seratus hari pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo telah mengambil beberapa langkah penting di bidang ekonomi.

Disindir Jokowi Soal Anggaran, Ini Kata Gubernur Aher

Pemerintahan baru ini telah mengambil beberapa kebijakan untuk memperbaiki tata kelola di beberapa sektor utama, seperti minyak dan gas serta kelautan dan perikanan.
Jokowi 'Semprot' Ahok Soal Serapan Anggaran


Mereka juga mengambil keputusan sulit menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, meskipun kemudian menurunkan kembali dua kali.


Deni Friawan, Peneliti Departemen Ekonomi Center for Strategic International and Studies (CSIS), mengatakan kebijakan tersebut memang sangat penting, karena dapat memperbaiki ruang fiskal, sehingga mampu meningkatkan pengeluaran pembangunan yang lebih membutuhkan, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.


Namun, lanjutnya, masih banyak lagi tantangan yang harus diatasi oleh pemerintahan Jokowi. Menurutnya, dalam aspek ekonomi, Indonesia tengah berada di persimpangan jalan di antara dua pilihan.


"Yakni melaksanakan agenda reformasi yang sulit secara politik, tapi mampu membawa perbaikan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, atau tidak menjalankan reformasi karena rendahnya pertumbuhan ekonomi domestik," ungkap Deni, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa 27 Januari 2015.


Dia mengungkapkan, saat ini pemerintahan baru sedang berhadapan dengan kondisi perekonomian yang memburuk. Pertumbuhan ekonomi domestik terus mengalami perlambatan, akibat rendahnya pertumbuhan ekspor dan investasi menyusul turunnya harga-harga komoditas sejak 2012.


Total pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu diperkirakan akan menyentuh tingkat terendahnya sejak 2009, yakni hanya mencapai 5,1 persen, sementara tekanan inflasi terus meningkat belakangan ini hingga mencapai 8,36 persen.


Di saat bersamaan, neraca transaksi berjalan terus mengalami defisit, dengan ekspor dan impor terus mengalami pelemahan. Hingga November 2014, neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif masih membukukan defisit US$2,07 miliar.


Akibatnya, ungkap Deni, walaupun keseluruhan neraca pembayaran terus mengalami surplus, hal itu lebih diakibatkan oleh arus masuk modal asing.


"Faktanya, hingga saat ini Indonesia masih sangat tergantung pada arus masuk modal portfolio asing untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan, sehingga sangat rentan terhadap arus balik modal keluar," paparnya.


Mengulangi kejadian pada tahun lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus mengalami tekanan dan sempat menyentuh level terendah sebesar Rp12.900 per dolar AS pada 19 Desember 2014, akibat arus modal asing keluar yang didorong oleh ketakutan kebijakan normalisasi yang mungkin akan diambil Federal Reserve dan terus berlanjutnya defisit neraca berjalan Indonesia.


"Kondisi perekonomian yang memburuk itu diperkirakan masih akan terus berlanjut dan kemungkinan besar belum akan mengalami perbaikan signifikan dalam jangka pendek," jelasnya.


Dia menambahkan, kondisi lingkungan global juga kurang mendukung perekonomian domestik.


Baca juga:



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya