Penyamaan Zona Waktu Untuk Kepentingan Pasar Modal

Presiden Joko Widodo dan PM Malaysia Najib Razak di Putrajaya
Sumber :
  • REUTERS/Olivia Harris

VIVA.co.id - Keinginan menyatukan zona waktu Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang diungkapkan kepada Presiden Joko Widodo, bukan tanpa alasan. Penyamaan zona waktu bisa menggairahkan pasar modal.

Jokowi ke Silicon Valley

Dalam pertemuan bilateral kedua kepala negara ini, penyamaan zona waktu bertujuan agar perdagangan antara Indonesia-Malaysia bisa lebih efektif lagi.

Wakil Ketua Komisi VI DPR yang membidangi perdagangan, Dodi Alex Noordin, mengatakan, rencana penyatuan zona waktu ini agar lalu lintas pasar modal antar negara bisa seragam.

Tujuh Poin Arahan Presiden Kepada Pimpinan TNI-Polri

"Banyak wacana memang, untuk mempermudah perdagangan, seperti sinkronisasi pasar modal dan bursa, biar jam buka sama-sama," kata Dodi, saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 6 Februari 2015.

Selama ini, lalu lintas bursa antara Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, memang tidak sama. Malaysia dan Singapura lebih dahulu beraktivitas, sementara Indonesia terlambat.

Jokowi: Indonesia Mitra Utama Timor Leste

"Pasar modal, trading mereka lebih dulu beraktivitas. Kita memang agak dirugikan. Mereka aktif duluan, baru kita," ujar politisi Partai Golkar ini.

Kata Dodi, memang dalam perdagangan internasional di pasar bursa antar negara ASEAN, Indonesia cenderung lebih terlambat. Akibatnya, perdagangan di bursa Indonesia juga tidak maksimal, karena kalah cepat.

Namun untuk menyatukan zona waktu itu, Dodi mengatakan sangat sulit. "Kalau mau menyatukan, kita juga harus memikirkan, kita ada tiga zona waktu, mau diapakan? Apakah dijadikan satu, atau tetap seperti sekarang. Apakah yang dimajukan Jakarta saja. Yang harus diperhatikan lokal," kata Dodi.

Hambatan terbesar, kata Dodi, adalah kearifan lokal di Indonesia. Misalnya di Papua, yang jarak waktu dengan Indonesia bagian barat hingga dua jam. Kalau dipaksakan mengikuti Indonesia Barat, akan berbenturan dengan kearifan lokal setempat.

"Mengubah seluruh kebiasaan, nggak gampang. Kalau misalnya orang Papua, kita tarik dengan kita, ya tentu kita harus lihat pengaruh sosial kultural di Papua. Kalau Jakarta mungkin nggak terlalu besar, tapi daerah-daerah lain harus lebih matang," katanya.

Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya