- VivaNews/ Nur Farida
VIVA.co.id - Munculnya asumsi akan adanya kebijakan kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve, Amerika Serikat, dinilai sangat berdampak signifikan terhadap negara-negara yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan, hal itu karena, mereka dinilai tidak mungkin memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga.
"Beberapa negara yang mengalami kondisi itu seperti Indonesia, Turki tidak mungkin menurunkan suku bunga. Apalagi, Indonesia terkena anjlok harga komoditas di tahun ini," ungkap Fauzi, di Hotel Shangrilla, Jakarta, Kamis 12 Februari 2015.
Menurutnya, neraca transaksi berjalan Indonesia yang sempat mengalami surplus pada 2011 sebesar US$2 milliar, sangat berpengaruh terhadap ekspor Indonesia.
"Ekspor Indonesia tergantung dengan neraca transaksi berjalan Indonesia yang sempat surplus tahun 2011 lalu, yang membuat rupiah sempat menguat. Tetapi, anjloknya harga komoditas saat ini, menyebabkan defisit kepada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan berdasarkan data pada tahun 2014," ungkapnya.
Fauzi berpendapat, kondisi defisit neraca transaksi berjalan merupakan situasi yang cukup krusial. Dia pun, mengibaratkan defisit sebagai sebuah utang perusahaan.
"Semakin besar kebutuhan utang perusahaan, semakin besar bunga yang dibayar. Semakin tinggi itulah yang merupakan kondisi berbahaya," ujarnya.
Terlebih lagi, kata Fauzi, dengan adanya defisit, membuat negara harus menombok, ditambah semakin tingginya suku bunga yang ditawarkan.
Untuk itu, Bank Indonesia dan pemerintah harus menurunkan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, terutama sebelum bank sentral AS menaikkan Fed Fund Rate.
"BI diperkirakan akan merespons dengan menaikkan BI rate ke 8-8,25 persen pada semester dua tahun 2015," ujarnya. (asp)
Baca juga: