- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id - Laju rupiah terus menuju di kisaran level psikologis Rp13.000 per dolar Amerika Serikat. Meski begitu, pemerintah mencoba tetap tenang dan, bahkan terkesan adem ayem. Padahal, utang valuta asing sudah pasti membengkak.
Tetapi, pemerintah justru tampak cukup 'bangga' atas pelemahan rupiah ini. Salah satunya, para pejabat Istana Negara berkali-kali mendengungkan kalau pelemahan rupiah merupakan kabar baik untuk ekspor.
Menko Perekonomian, Sofyan Djalil menegaskan, tidak perlu ada yang dikhawatirkan terkait pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Sebab, rupiah justru menguat terhadap mata uang lainnya.
Kondisi perekonomian, kata Sofyan, masih baik-baik saja. Ia menduga, mungkin karena sebagian menganggap sudah mendekati Rp13.000, lalu terpengaruh dengan situasi tahun 1999, saat rupiah sempat melemah dari Rp2.400 ke Rp13.000 per dolar AS.
Sofyan kembali menegaskan, "dari sisi kepentingan ekspor, pelemahan nilai tukar rupiah itu membuat ekspor kita akan lebih bagus, kompetitif."
Wakil Presiden, Jusuf Kalla juga beranggapan serupa. Dia bilang bahwa saat ini, ekspor Indonesia mulai meningkat. Subsitusi komoditas ekspor dari sumber daya alam ke produk manufaktur saat ini terus berkembang.
"Kita ekspor baju, tekstil, listrik, mobil, itu kan manufacturing. Kita lebih banyak ekspor manufacturing, di luar batu bara," ujar Wapres, Senin malam, 2 Maret 2015.
Tetapi, bagaimana dengan utang dalam bentuk valas? Wapres tahu akan risiko tersebut. "Impornya akan lebih sulit, memang utang akan bayarnya lebih mahal," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, pinjaman baru dalam bentuk dolar AS yang akan ditarik pemerintah saat kondisi rupiah melemah, akan membuat nilai yang diperoleh lebih besar.
Namun, sekali lagi, kata Wapres, risiko itu bisa disiasati dengan meningkatkan kinerja ekspor. (asp)
![vivamore="Baca Juga :"]