Suku Bunga China Dipangkas, Ancaman Bagi Indonesia?

Altay, Daerah Damai di Ujung Tiongkok
Sumber :
  • VIVA.co.id/Arfi Bambani

VIVA.co.id - Setelah mendevaluasi mata uangnya untuk menggenjot ekspor, China kembali membuat kebijakan baru dengan memangkas suku bunga acuan menjadi 4,6 persen pada Selasa, 25 Agustus 2015. Kebijakan ini diharapkan akan memberikan dampak positif bagi iklim investasi di negeri Tirai Bambu tersebut.

Sofjan Wanandi: Demo Tak Pengaruh Iklim Investasi

Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri, kebijakan ini belum menunjukan adanya indikasi positif bagi rupiah maupun perekonomian Indonesia. Apalagi dengan suku bunga rendah, pangsa pasar investasi dalam negeri terancam akan lebih condong beralih ke China.

"Dengan adanya kebijakan ini, kemungkinan investor ke Indonesia itu bisa memutar haluan ke China. Karena iklim di sana lebih prospektif dan menjanjikan dengan penurunan tingkat suku bunga ini. Kemungkinan juga bisa capital out flow," kata Ahmad kepada VIVA.co.id, Rabu, 26 Agustus 2015.

Aprindo: Pusat Belanja dan Mal Buka Seperti Biasa

Ahmad menjelaskan, meskipun ada indikasi capital out flow (arus modal keluar), kebijakan ini tidak serta merta membawa angin buruk bagi perekonomian nasional.

"Capital in flow juga bisa. Dengan penurunan tingkat suku bunga ini, saham China bisa berterbangan, dan jatuh di Indonesia. Kita bisa nambah investasi dalam hal portofolio," ujarnya menerangkan.

Minat Investasi Tak Terpengaruh Aksi Demo 4 November

Hal berbeda diutarakan Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), I Kadek Dian Sutrisna. Menurut dia, kebijakan ini justru akan menyebabkan dampak negatif bagi nilai tukar mata uang negara-negara berkembang.

"Dua kebijakan yang berdekatan ini, devaluasi dengan penurunan tingkat suku bunga justru akan menguatkan dolar AS. Indikasinya, ini akan menyebabkan pelemahan nilai tukar mata uang negara lain," kata Kadek kepada VIVA.co.id.

Selain itu, kebijakan ini turut mempengaruhi kinerja ekspor dalam negeri. Sebab, daya saing produk dalam negeri saat ini tidak mumpuni untuk bersaing dengan China setelah negeri Tirai Bambu tersebut mendevaluasi mata uangnya beberapa waktu lalu.

"Akan menganggu ekspor dalam negeri dan juga perkembangan ekspor kita. Kita tidak bisa terus mengharapkan kondisi eksternal," ujar dia.

Karena itu Kadek menghimbau, pemerintah lebih memperkuat potensi ekspor yang belum tergali di sejumlah sektor ekonomi dalam negeri. Kemudian, daya beli nasional diperkuat dan belanja pemerintah dipercepat. Dengan insentif tersebut, optimisme pasar diyakini akan kembali bergejolak sehingga mampu berdampak positif bagi perekonomian dalam negeri.

"Kita harus garap potensi domestik. Kondisi sekarang, susah untuk mengandalkan sisi eksternal. Tugas pemerintah itu berikan optimisme supaya pasar bisa yakin ke depan bisa lebih baik. Sejauh ini kebijakan Menteri Keuangan sudah baik. Seperti PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) itu bagus."

(mus)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya