Breaktime, dari Modal Rp200 Ribu Kini Beromzet Puluhan Juta

Camilan Breaktime.
Sumber :
  • Arie Dwi Budiawati
VIVA.co.id
Sri Mulyani: Nilai Perjanjian WIEF US$900 Juta, Masih Kecil
- Bisnis penganan kecil memberikan prospek yang positif. Buktinya, pendiri Breaktime, Muhammad Ikhtiary Gilang Gumelar, berhasil meraup omzet puluhan juta rupiah dari bisnis sus kering.

Sri Mulyani Ingin UMKM Perluas Jaringan ke Luar Negeri
Kepada VIVA.co.id, pemuda yang akrab dipanggil Gilang ini bercerita tentang keinginannya untuk mencari uang dari keringatnya sendiri. Keinginan berbisnis itu muncul ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan pernah berjualan tamiya, petasan, dan layangan. 

Miliarder Sara Blakely Berbagi Nasihat Bisnis Terbaiknya
Orangtuanya tidak melarang sama sekali karena kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan yang positif. Bahkan, mereka menanamkan pesan kepada Gilang bahwa tak ada kata malu melakoni suatu pekerjaan asalkan pekerjaan itu halal.

"Bahkan, mengamen dan berjualan koran pun pernah saya lakukan agar saya bisa mempunyai uang untuk jajan dengan hasil keringat saya sendiri," kata Gilang di Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu.

Pemuda kelahiran 1991 ini berhasrat bisa mengenyam pendidikan tinggi di jurusan manajemen bisnis. Sayangnya, keinginannya kandas karena orangtua tidak mengizinkan. Akhirnya, dia memilih jurusan Sistem Informasi di Universitas Gunadarma pada tahun 2009 dan lulus pada 2014. 

Di sela-sela kegiatannya berkuliah, pada tahun 2011, anak kedua dari lima bersaudara ini coba-coba membuka usaha sop durian yang dinamainya "Sop Durian Iyeuh". Namun bisnisnya bertahan hanya tiga bulan. Dia mengakui kurang berpengalaman dalam berbisnis.

"Yang tersulit itu mengerti bisnis. Karena masih muda, ingin cepat bagaimana bisnis bisa berhasil dan cepat," kata dia.

Lalu, tahun 2011, Gilang pun mencoba bangkit dengan membuka usaha sepatu yang diberi nama "MIGG Wear" dan bekerja sama dengan industri kecil sepatu. Awalnya, bisnisnya berjalan, tapi berakhir juga.

"Ada order-order, tapi saya tidak bisa handle itu. Bisnis sepatu itu tidak gampang, harus ada orang yang paham sepatu. Saya tidak punya skill di sana. Permintaan lumayan, tapi tidak bisa produksi. Akhirnya bisnisnya goyang," kata dia.

Dua kali terjatuh saat merintis usaha tak membuat Gilang kapok. Dia justru membangun usaha bisnis jasa konsultasi IT "IVI TECH". Gilang pun menemui masalah yang sama dengan bisnis-bisnis sebelumnya, yaitu mencari partner kerja dan sama-sama tidak tahu bisnis.

"IT consultant (bertahan) lumayan lama, bertahan 2-3 tahun sampai sekarang dan saya keluar," kata dia.



Sekolah Bisnis

Karena berulang-ulang bangkrut, Gilang memutuskan untuk bersekolah di sekolah bisnis pada tahun 2014 usai lulus dari Universitas Gunadarma. Di sana, pemuda yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, ini mempelajari bagaimana cara berbisnis.

"Di sana saya belajar tentang bisnis bagaimana caranya mulai dan step by step bisnis dinikmati. (Di sana) bukan hanya cara berbisnisnya saja yang saya pelajari, tapi sisi spiritualnya," kata dia.

Enam bulan mengenyam pendidikan bisnis, Gilang keluar dan mempraktikkan ilmu yang didapat dari sekolah tersebut. Dia pun mencari-cari bisnis yang tak terlalu mengeluarkan modal yang besar dan arus kasnya gampang. Akhirnya, dipilihlah usaha bakso. Dia mendirikan usaha itu pada November 2014.

"Mengapa bakso? Pertama, bakso ini gampang dicari. Kedua, bakso ini makanan (yang) kapan pun (bisa dinikmati), baik musim panas dan musim dingin," kata dia.

Gilang pun bermain di variasi kuah bakso, misalnya kuah soto. "Saya yakin ini tidak ada di Indonesia," kata dia.

Lagi-lagi Gilang menemui kendala dalam usaha bakso ini. Ada beberapa masalah yang dihadapinya. Pertama, kompetitor sudah banyak. Kedua, dia tak melakukan analisis pasar. Ketiga, ingin bisnisnya tumbuh cepat. Keempat, Gilang tak bisa memperkenalkan diri kepada masyarakat sebagai pemilik usaha bakso itu.

"Waktu saya habis untuk berjualan bakso di outlet, sedangkan saya tipikalnya bukan di belakang layar, tapi di depan layar. Jadi saya tidak bisa menikmati bisnis ini. Pada akhirnya, bisnis ini kolaps," kata dia.

Padahal, Gilang sudah merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah untuk berbisnis bakso. Usahanya gulung tikar pada Maret 2015.

Dia melanjutkan, ketika masih berbisnis bakso, sempat terpikir membangun usaha yang modalnya kecil. Diputuskan untuk berbisnis cemilan.

"Saya cari apa yang kira-kira menarik. Saya lihat dulu kompetitornya. Saya minat di bidang cemilan. Sayanya di sini, produknya di sini dan bisa dibawa ke mana-mana. Bisa nanti ada di Semarang, di Yogyakarta. Tanpa harus ribet-ribet buka outlet di sana. Jalur distribusinya itu bisa cepat sampai sana," kata dia.

Rata-rata yang ditemukan di minimarket adalah cemilan keripik singkong. Gilang berpikir cemilan singkong terlalu umum. Akhirnya, diputuskanlah usaha sus kering karena pesaingnya masih sedikit. 

Tak butuh waktu lama untuk meriset pasar untuk bisnis sus kering. Waktunya hanya sebulan dan dia meluncurkan produk sus kering yang dinamainya "Breaktime". Usaha ini dirintis bersama seorang temannya. Isi yang dipilih adalah cokelat karena anggapannya semua orang menyukai cokelat.

"Mengapa Breaktime? Orang nyemil, kan, biasanya di waktu santai. Breaktime juga artinya waktu santai. (Maksudnya), ketika orang sedang santai, bagaimana caranya Breaktime bisa dinikmati. (Makanya saya buat motto), Everyone needs Breaktime," kata dia.

Modal Rp200 Ribu

Gilang pun merogoh kocek Rp200 ribu untuk modal usahanya. Modal ini adalah sisa modal usaha bakso. Dia pun bekerja sama dengan pihak lain untuk memproduksi sus kering.

"Saya memang tidak bisa memproduksi sus kering," kata dia.  Dengan modal Rp200 ribu, dihasilkan sus kering yang dibungkus dalam dua belas kemasan. Harganya pun dibanderol sebesar Rp13 ribu per kemasan.

"Kalau tidak salah, waktu itu ukurannya 100 gram," kata dia.  Awal tahun 2015, produk Breaktime diluncurkan. Saat peluncuran produknya, Gilang hanya memfoto produk sus keringnya dan mengunggahnya di media sosial.

"Waktu saya kumpul dengan teman, saya foto sus kering dalam toples, lalu saya upload," kata dia.

Cara itu menimbulkan respons yang luar biasa. Teman-temannya penasaran dan bertanya-tanya di mana bisa menemukan Breaktime. Selama tiga bulan, Gilang berpromosi produk Breaktime dengan cara seperti ini. "Sampai tiga bulan, mereka tidak tahu owner Breaktime itu siapa," kata dia.

Gilang pun membidik orang-orang "tenar" di media sosial dengan cara mendekati mereka untuk mempromosikan Breaktime, tapi tak menyebutkan pemiliknya. Usaha itu sukses membuat orang-orang penasaran dengan Breaktime.

"Kayaknya ini bisnis yang saya cari. Modalnya simple, tidak terlalu besar, dan risikonya kecil. Akhirnya saya menemukan diri saya yang sebenarnya," kata dia.

Seiring berjalannya waktu, modal bisnis Breaktime meningkat. Per bulannya modalnya bisa sebesar Rp15 juta per bulan untuk kemasan, plastik pengemas sus, dan bahan bakunya.

"Per bulannya buat 1.500 kemasan. Bobot per kemasannya jadi 150 gram. Harganya jadi Rp20 ribu," kata dia.

Varian rasanya pun bertambah menjadi stroberi cokelat, cokelat, dan green tea cokelat. Kemasan Breaktime pun berubah, mulai dari kemasan plastik hingga kemasan karton. Konsumen yang dibidik adalah konsumen segala kalangan, termasuk menengah.

"Diubah jadi handy," kata dia.  Gilang pun mengatakan sudah balik modal saat bulan pertama berjualan. Dari bisnisnya ini, Breaktime sudah memberikan omzet senilai puluhan juta rupiah per bulannya. "Omzetnya Rp30 juta per bulan," kata Gilang.

Ada satu pengalaman yang membuat dia berkesan saat berusaha Breaktime. Ketika itu, ada pembeli yang memesan Breaktime 100 kemasan. Ketika awal berjualan, Gilang tak punya divisi pengiriman barang. Dia pun mengantarkannya sendiri.

"Saya kirim ke daerah Meruya, Jakarta Barat, dari Bekasi. Saya dikejar waktu. Dia mintanya mepet. Pesanan untuk jam 15.00, diteleponnya jam 12.00," kata dia.

Apesnya, di jalan turun hujan, sementara Gilang hanya membawa jas hujan untuk dirinya sendiri. "Saya hujan-hujanan dari Pulogadung ke Meruya. Itu naik sepeda motor. Kardusnya basah, tapi untungnya produknya aman," kata dia.

Dari sanalah, Gilang berpikir untuk menggunakan jasa pengiriman barang untuk mengirimkan produknya.

Selain itu, Gilang juga bercerita bahwa orang tuanya mendukung usahanya dia meskipun usahanya jatuh bangun berulang-ulang.

"Awalnya melarang karena sering gagal," kata dia.  Saat ini, Gilang punya lima orang untuk lima divisi di Breaktime, yaitu di bidang strategi pemasaran, pemasaran, administrasi, keuangan, dan bidang distribusi.  "Kami merekrut teman dan orang-orang terdekat," kata dia.



Dua Cara Promosi

Gilang mengatakan bahwa pihaknya menggunakan dua cara untuk mempromosikan dan memasarkan produknya, yaitu jalur udara dan jalur darat. Jalur udara itu menggunakan media sosial untuk mempromosikan produknya. Media sosial yang digunakan adalah Instagram dan Twitter.

"Media sosial itu media promosi. Di sana, saya tidak pernah pakai caption di Instagram. Kalau ada yang komentar di foto itu, langsung direspons sama pihak marketing," kata dia.

Sementara itu, jalur daratnya adalah pemasaran lewat door to door. Gilang menaruh produknya di kantor dan kafe. Saat ini ada puluhan titik di mana produk ini bisa didapatkan.

Gilang mengatakan bahwa produknya sudah "berkelana" di Semarang, Bandung, Yogyakarta, Klaten, bahkan Balikpapan dan Riau.

Selain itu, Gilang juga membuka kesempatan bagi orang yang ingin menjadi reseller produk Breaktime. Ada dua macam reseller di Breaktime, yaitu reseller resmi dan non resmi.

"Reseller resmi dan non resmi harganya sama. Minimal pembelian itu 20 pieces terserah mau rasa apa saja," kata dia.

Hanya, ada beberapa perbedaan antara reseller resmi dan non resmi. Reseller resmi mendapatkan hadiah (reward) kalau bisa mencapai target penjualan 250-3.500 pieces per bulan.

"Rewardnya, kalau bisa jual 250 kemasan, dapat uang Rp250 ribu dan kalau bisa jual 3.500 pieces per bulan, reward-nya Rp7 juta," kata dia.

Bagaimana caranya menjadi reseller Breaktime? Gilang mengatakan baik yang resmi atau tidak, pihak yang bersangkutan menghubungi kantor Breaktime.

"Reseller resmi mendapatkan nomor ID, sedangkan yang non resmi tidak dapat. Reseller resmi membayar biaya pendaftaran Rp25 ribu," kata dia.

Lantas bagaimana cara pembeli mendapatkan sus kering Breaktime? Pembeli bisa mengeceknya di akun Instagram yang bernama BreaktimeID, menghubungi e-mail di official.breaktime@gmail.com, atau di situs www.breaktimeid.com.

"Tidak ada minimal pembelian asalkan ongkos kirim ditanggung pembeli," kata dia. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya