Penyebab Produktivitas Petani Kentang Rendah

Kentang.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Produktivitas petani kentang Indonesia saat ini masih rendah karena terbatasnya varietas unggul bibit kentang yang sampai di tangan petani, terutama di pulau Jawa.

Habis Lebaran Kolesterol Meningkat? Pangkas dengan 6 Sayuran Ini

Peneliti dari Balai Peneliti Sayuran Kementerian Pertanian, Kusmana, seperti dikutip dalam keterangannya, Senin, 18 April 2016, mengungkapkan produktivitas petani kentang di Indonesia masih rendah, hanya 17 sampai 20 ton per hektare. Sedangkan di luar negeri bisa mencapai 40 ton per hektare.

“Hal ini karena masih sedikit petani yang menggunakan bibit kentang bersertifikat," kata Kusmana.

Kementan dan Kemenko Marves Bergerak Bersama Mengawal Food Estate Humbahas

Menurut dia, dari 70 ribu hektare lahan tanaman kentang di Indonesia, hanya 15 persen saja yang ditanami dengan varietas bersertifikat. Padahal, varietas unggul ini tahan terhadap penyakit, terutama busuk daun dan layu yang disebabkan bakteri.

"Pengadaan bibit unggul harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh petani," kata Kusmana.

Pemukiman di Mars Bakal Pakai Beton dari Kentang dan Debu Bulan

Kusmana mengatakan, masih banyak petani kentang yang belum mengetahui bibit unggul bersertifikat. Terkait hal tersebut, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi, karena pada akhirnya kalau tanamannya banyak yang mati, yang rugi petani itu sendiri.

Dia menambahkan, untuk meningkatkan produksi bibit unggul ,Kementerian Pertanian telah melegalisasi enam institusi untuk melakukan penangkaran bibit kentang, termasuk perusahaan produsen benih sayuran di Tanah Air PT East West Seed Indonesia.

"Kami langsung melakukan pengawasan terhadap penangkaran varietas unggul kentang tersebut. Harapannya, produktivitas nantinya dapat ditingkatkan, sehingga kebutuhan kentang sepenuhnya dapat dipasok dari petani dalam negeri," ujar Kusmana.

Kusmana mengatakan, dilibatkannya perusahaan dalam penangkaran, karena mereka sudah memiliki jaringan distribusi ke daerah-daerah produsen kentang sampai ke tingkat petani. Sehingga, distribusi bibit unggul kentang ini dapat disampaikan lebih cepat.

Dia berharap, dengan berjalannya program pengadaan bibit unggul ini, maka petani yang menggunakan bibit unggul juga dapat ditingkatkan dari 15 persen naik menjadi 20, atau bahkan 25 persen dalam waktu dekat.

Guru Besar IPB Prof. Dr. GA Wattimena, MSc., membenarkan salah satu penyebab rendahnya produktivitas petani kentang di Indonesia disebabkan penyakit, sehingga untuk meningkatkan produktivitas harus ada bibit unggul, serta meningkatkan pemberian pupuk.

Berbeda dengan Eropa dan Amerika Serikat, yang memiliki musim dingin, sehingga penyakit tanaman kentang tidak terlalu banyak, Indonesia dengan iklim tropis memungkinkan munculnya berbagai penyakit.

“Sedangkan keuntungannya dengan iklim seperti Indonesia, usia panen lebih cepat 100 hari, sedangkan di Eropa dan AS bisa 120 hari,” jelas Wattimena.

Menurutnya, perbedaan juga pada kondisi tanah, kalau di luar negeri tidak pernah diberikan pupuk kandang cukup pupuk buatan (NPK) saja, tetapi di Indonesia pemberian pupuk kandang wajib. “Kemudian, tanaman kentang juga baru dapat tumbuh di dataran tinggi, atau iklim dengan suhu 20 derajat celcius,” ujar dia.

Kentang di Indonesia ada dua yang dikenal, yakni Granola dan Atlantik. Granola biasanya untuk dibuat keripik, sedangkan Atlantik biasanya dibuat kentang goreng (fried fries). “Atlantik di Indonesia, memilik kelemahan, yakni rentan terkena penyakit layu,” jelas Wattimena.

Wattimena mengatakan, kelemahan dalam melakukan karantina tanaman dari luar membuat munculnya berbagai penyakit pada tanaman kentang. Bahkan, ada salah satu daerah di Jawa Tengah yang sampai sekarang tidak bisa memproduksi kentang lagi akibat penyakit.

Dia melanjutkan, Kementerian Pertanian harus secepatnya menciptakan generasi baru bibit kentang yang tahan terhadap penyakit.

Ia yakin, kalau produktivitas tanaman kentang dilihat dari jangka waktu bukan luasan area, maka Indonesia sebenarnya dapat lebih baik. "Ukurannya bukan ton per hektare, tetapi ton per bulan karena panen kita lebih cepat," ujar Wattimena. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya