Ini Penyebab Harga BBM dan Listrik Tak Wajar

Petugas SPBU di Jalan Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dian Tami

VIVA.co.id – Pemerintah dinilai membiarkan inefisiensi dan kartelisasi di sektor energi yang menyebabkan PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjual bahan bakar minyak dan tarif listrik dengan harga tidak wajar.

Energi Mega Persada Catat Laba Bersih US$53 Juta pada 2020

Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono mengatakan, pemerintah harusnya bisa mencegah pengurangan subsidi BBM dan listrik apabila mampu membereskan inefisiensi dan kartelisasi tersebut.

"Pemerintah terkesan menoleransi inefisiensi dan kartelisasi sehingga harga energi menjadi mahal. Ini lebih kejam dari kartel daging sapi oleh swasta karena dilakukan oleh BUMN yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah," kata Bambang dari keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis, 16 Juni 2016.

Pertamina EP Raih Best of The Best Diajang UIIA 2020

Pemerintah berencana memangkas lagi subsidi solar dari saat ini Rp1.000 per liter menjadi hanya Rp350 per liter. Belakangan, usulan subsidi tetap solar dinaikkan lagi menjadi Rp500 per liter.

Menurut Bambang, dugaan inefisiensi produksi BBM antara lain tercermin dari harga bensin yang lebih mahal dari negara lain. 

Efisiensi Proyek Pipa Minyak Rokan, Momentum PGN Perkuat Bisnis Migas

Sebagai perbandingan, harga bensin RON 90 (Petrol 90) di Malaysia hanya 1,2 ringgit atau Rp3.890 per liter, sedangkan harga Pertalite (setara Petrol 90) di Indonesia Rp7.100 per liter.

Demikian juga dengan Pertamax Plus (RON 95), Pertamina menjual seharga Rp8.450 per liter, sedangkan Petronas Malaysia menjual Petrol 95 seharga 1,7 ringgit atau Rp5.510 per liter.

Untuk BBM subsidi, lanjut Bambang, Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Patra Niaga, menjual solar nonsubsidi Rp4.500 per liter, padahal harga solar subsidi saat ini masih Rp5.150 per liter.

Dia juga mencium praktik kartelisasi dalam penentuan tarif listrik. Pasalnya, tarif listrik tidak ikut turun ketika harga bahan baku pembangkit, seperti batu bara dan solar, sedang sangat rendah.

"Sebaliknya, pemerintah justru menaikkan tarif listrik. Ada permainan apa antara pemerintah, PLN dan produsen listrik swasta (IPP) dalam menentukan harga listrik. Mengapa penurunan biaya produksi listrik tidak bisa dinikmati oleh konsumen, terutama rumah tangga dan 57 juta UKM," ujarnya.

Bambang mengatakan rakyat saat ini masih membutuhkan subsidi BBM dan listrik karena negara belum mampu menyediakan infrastruktur dan transportasi publik yang baik

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya