Beda Defisit APBN Era SBY dan Jokowi

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, saat bertemu akhir 2014 lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo

VIVA.co.id – Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Kebijakan dua Presiden dalam merancang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sungguh menarik untuk dicermati.

Ada Proyek Ibu Kota Baru, Sri Mulyani Jaga Defisit APBN Sesuai Target

Keduanya, terlihat memiliki cara berbeda dalam hal menentukan postur anggaran dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan. 

Pada era SBY, postur APBN terlihat ditekankan pada upaya menjaga daya beli masyarakat tetap terjaga dengan memberikan stimulus, atau subsidi, agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi. Zaman tersebut cukup dikenal sebagai zaman commodity boom, di mana kondisi ekonomi juga ikut ditopang oleh meningkatnya harga komoditas internasional.

Defisit APBN Oktober 2021 Capai Rp548,9 Triliun

Saat itu, pemberian stimulus pemerintah dilakukan dengan subsidi energi, khususnya pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik, sehingga secara postur APBN kurang efektif dan menyebabkan defisit semakin besar.

Saat zaman itu pula, defisit APBN cukup dikhawatirkan sejumlah ekonom, karena harga minyak dunia dapat mencapai di atas US$ 100 per barelnya. Hal itu pula dinilai menjadi penyebab ruang fiskal pemerintah menjadi sangat sempit dan sulit melakukan manuver untuk kembali meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sri Mulyani Prediksi Dua Hal ini Buat Defisit APBN 2022 Lebih Rendah

Di periode itu pula, penerimaan dari sisi pajak sulit untuk mencapai target. Dan, pada akhir 2014, postur APBN yang dibuat oleh SBY, pada akhirnya pun diakui kurang efisien, ketika ekonomi global mulai melambat.

Sementara itu, di era Pemerintahan Jokowi, postur APBN tiba-tiba langsung diubah dengan menekankan pada peningkatan belanja modal, khususnya pada infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melepas subsidi BBM seolah-olah mengikuti harga pasar.

Namun, sayang langkah tersebut kurang berjalan baik, akibat kondisi ekonomi yang tiba-tiba berputar 180 derajat, di mana harga minyak dunia menyentuh harga terendahnya, yaitu US$20 per barel. Dan, harga komoditas internasional yang selama era SBY menyelamatkan ekonomi, tiba-tiba runtuh akibat pelemahan ekonomi negara tujuan utama ekspor Indonesia, yaitu Tiongkok.

Akibat kondisi tersebut, pemerintah dilanda kekhawatiran baru, yaitu target penerimaan negara diperkirakan lebih rendah dari target yang ditetapkan, sedangkan belanja negara yang diandalkan tetap harus dipertahankan demi menjaga pertumbuhan ekonomi.

Atas kondisi itu pula, akhirnya pemerintah terlihat kembali mengandalkan pelebaran defisit untuk menutupi kekurangan itu. Defisit tersebut memang diakui sangat terbatas, yaitu tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), di tengah ekspansifnya rencana pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede, saat dimintai keterangan oleh viva.co.id memandang, dua postur APBN yang disajikan era SBY dan Jokowi tentu memiliki keunggulan masing-masing. Hanya saja, memang sial di zaman Jokowi, saat ini, di mana postur APBN yang telah diperbaiki olehnya tidak banyak didukung kondisi makro ekonomi yang setiap tahun semakin melambat dan penuh ketidakpastian.  

Meski, postur APBN zaman Jokowi lebih fleksibel dalam upaya mendorong ekonomi, pemerintah tidak memiliki banyak amunisi dari penerimaan, karena jauh dari target yang sudah ditentukan. Saat ini, menurut Josua, pemerintah hanya memiliki opsi untuk melebarkan defisit yang tentunya terbatas hingga tiga persen dari PDB.

Untuk itu, dia mengharapkan, di tengah kondisi yang tidak pasti, pemerintah seharusnya bisa lebih realistis dalam menentukan target peneriman dan target belanja. Hal tersebut, lebih penting dilakukan, agar kesinambungan fiskal tetap terjaga dan pasar terus mempercayai langkah Pemerintah dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak pasti.

Sementara itu, Juniman, Kepala Ekonom PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) menambahkan, dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti, upaya pemerintah untuk menjaga defisit perlu dilakukan, dan upaya untuk memfokuskan belanja kepada hal yang lebih prioritas harus bisa dilakukan dalam revisi APBN 2016 ini.

“Langkah Money Follows Program yang akan diterapkan, tentu bisa memberikan efek yang positif di tengah terbatasnya anggaran,” ujarnya, saat dihubungi VIVA.co.id.co.id, Kamis 16 Juni 2016.

Berikutnya, ubah UU APBN, defisit diperlebar 4%...

Ubah UU APBN, defisit diperlebar 4%

Selain itu, lanjut Juniman, langkah berikutnya yang bisa dilakukan pemerintah di tengah buruknya kondisi makro dan menjaga keberlanjutan APBN, adalah dengan mengubah aturan batas defisit yang ditetapkan sebesar tiga persen dari PDB menjadi empat persen.

Tambahan tersebut, dinilai bisa membuat ruang fiskal menjadi lebih lebar dan ekspansif dalam upaya mengejar target ambisius pemerintah dalam meningkatkan infrastruktur nasional.

"Jadi, kalau andalkan UU (undang-undang) yang sekarang, pemerintah sampai kapan pun masih akan kesulitan dan tersandera, jika ingin mengejar target pembangunan infrastruktur nasional, yang kebutuhannya cukup besar. Mengubah defisit lebih lebar, bisa jadi opsi mempercepat belanja. Langkah ini pula, dapat mencontoh apa yang sudah dilakukan negara lain, seperti India yang defisitnya 5-6 persen dan Malaysia yang sebesar lima persen terhadap PDB," jelasnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pada revisi APBN-P 2016 ini, pemerintah memang melihat ada potensi penerimaan pajak yang tidak tercapai, sehingga defisit diperkirakan melebar dari 2,15 persen menjadi 2,48 persen.

Asumsi tersebut, tentunya dengan memproyeksikan harga minyak kembali naik dalam beberapa pekan ini. Hal itu, tentu dapat meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dari migas. 

Kemudian, Bambang juga mengungkapkan, apabila ternyata defisit anggaran semakin melebar, hal yang akan dilakukan adalah penghematan anggaran di seluruh instansi pemerintah dan menunda seluruh belanja pemerintah yang memang mengalami penundaan pelaksanaan. "Ya, kalau ada belanja yang di-delay (ditunda) yang delay, gitu aja," ujarnya, saat ditemui Kamis. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya