Akusisi PGE oleh PLN Dinilai Berisiko

Ilustrasi sumur PGE.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Wacana akuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina di bisnis panas bumi, oleh PT Perusahaan Listrik Negara dinilai berisiko mematikan pengembangan energi baru terbarukan, khususnya di sektor panas bumi.  

Gara-gara HTI Pertamina Rugi Rp11 Triliun, Cek Faktanya

"Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. Kalau benar-benar terealasi (akuisisi), ini akan mematikan itu semua," tegas Abadi, seperti dikutip dari keterangan resminya, Sabtu 13 Agustus 2016. 

Menurut Abadi, sebagai suatu perusahaan yang memiliki portofolio, tentunya akan memilih sektor yang memberikan margin yang lebih besar. Dengan memiliki pembangkit listrik yang lengkap, mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLN bisa jadi akan menghentikan pembangkit yang memberikan margin yang rendah.

Keren, PLN Jadi Perusahaan Listrik Terbaik Asia Tenggara dan Selatan

"Kalau melihat dari sisi margin, tentu saya akan lebih cenderung menghidupkan yang murah. Yang mahal dihentikan. Ini pola pikir kalau ada portofolio yang lengkap," ungkap dia.

Abadi mengungkapkan panas bumi mempunyai reservoir, jika satu dimatikan, seluruh sistemnya akan mati semua. Begitu dimatikan, akan butuh waktu dan biaya untuk menghidupkan kembali.

Holding BUMN Migas Bikin Pertamina Setara Total dan ExxonMobil

"Jika dimatikan, hilang dong investasinya. Jadi perlu keilmuan reservoir, bisa memang hired orang, tapi itu nambah cost lagi," kata dia.

Tidak hanya itu, Abadi menyoroti lemahnya pengelolaan PLTP oleh PLN selama ini. PLTP Kamojang Unit 1 misalnya, PLTP itu dibangun pada 1992 selama ini hanya memasok uap ke PT Indonesia Power, anak usaha PLN. Jika di luar negeri,

PLTP yang sudah berusia 40-50 tahun masih beroperasi dengan baik, PLTP Kamojang Unit 1 justru saat ini dalam keadaan rusak. Selain itu, PLTP Lahendong Unit 1 yang dioperasikan PLN juga dalam keadaan rusak. Itu semua hanya karena pengurangan biaya operasi.

"PLN juga mempunyai dua wilayah kerja panas bumi (WKP), namun juga tidak jalan. Jadi kemudian timbul pertanyaan, kenapa PLN begitu bernafsu mengambil Chevron dan PGE," kata dia.

Menurut Abadi, perusahaan-perusahaan yang tertarik di bisnis panas bumi, sebagian besar adalah perusahaan minyak karena memiliki kesesuaian karakter dan kompetensinya di sektor hulu.

"Di dunia, perusahaan yang mengembangkan panas bumi seperti Chevron, yang bergerak di upstream. Di Indonesia demikian pula, ada Pertamina dan Supreme Energy yang notebenenya perusahaan migas," ungkap dia. 

Senada dengan Abadi, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dari total jatah PLN pada proyek pembangkit 35 ribu MW sebesar 25-30 persen, yang belum terkontrak mencapai 70 persen. Bahkan, dari 30 persen yang sudah memiliki kontrak, hanya beberapa di antaranya yang sudah beroperasi (commercial operation data/COD).

"Jadi susah dimengerti keinginan PLN yang mau mengakuisisi Chevron dan PGE," lanjut dia.

Selain itu, Komaidi juga menyoroti performa kinerja keuangan PLN yang tahun ini berpotensi mengalami selisih kerugian akibat tidak disetujuinya rencana pencabutan subsidi pelanggan listrik 900 VoltAmpere (VA). 

"Potensi kerugian dari selisih laba seiring persetujuan subsidi. Itu bisa mencapai Rp15 triliun-Rp25 triliun, tergantung PLN melakukan adjumen di sana-sini," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saifulhak, mengatakan rencana akuisisi PGE oleh PLN bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Apalagi Pertamina lebih unggul dalam pengembangan energi panas bumi. 

"Tapi tentu itu domain Kementerian BUMN. concern kami adalah bagaimana eksplorasi dipercepat, sehingga panas bumi bisa berkembang," kata Yunus.

(ren)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya