- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede menyatakan, nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah, meskipun pada data perdagangan hari ini, Selasa 27 September 2016 berhasil menyentuh angka di kisaran Rp12.930 per dolar Amerika Serikat. Sebelumnya, dolar dalam satu tahun terakhir memang bergerak fluktuatif.
“Rupiah berpotensi mendapat tekanan dari rencana normalisasi kebijakan bank sentral AS (The Fed), di mana pada rapat FOMC (Federal Open Market Committe) September ini, Fed menyatakan kenaikan suku bunga pada akhir tahun ini diperlukan,” ujar Josua saat berbincang dengan VIVA.co.id, Selasa 27 September 2016.
Menurut Josua, kenaikan suku bunga bank sentral AS memang sangat diperlukan, dengan melihat situasi perkembangan perekonomian negeri Paman Sam itu. Meski begitu, secara keseluruhan fundamental ekonomi Indonesia dinilai telah membaik dibandingkan pada tahun lalu.
Tercermin dari laju inflasi yang terkendali, defisit transaksi berjalan yang semakin mengecil, serta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik. Selain itu, pelonggaran kebijakan moneter bank sentral yang dilakukan dalam beberapa waktu terakhir memang juga memberikan pengaruh.
“Ini mendorong capital inflow (arus modal masuk) pada pasar saham dan obligasi,” katanya.
Belum lagi, lanjut Josua, ditambah dengan implementasi program kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty yang mulai bergeliat, terlihat dari uang tebusan hingga 26 September 2016, di mana dana repatriasi mencapai Rp103 triliun, dan pembayaran tebusan mencapai Rp62 triliun.
“Sehingga dengan demikian, nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp13.000-Rp13.100 per dolar AS,” ungkapnya.