Hampir 4.000 Pabrik Rokok di Indonesia Ditutup

Indusri kecil rokok.
Sumber :
  • REUTERS/Andrew Biraj

VIVA.co.id – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebut sebanyak 3.915 pabrik rokok di Indonesia telah berhenti beroperasi. Jumlah ini tercatat dalam kurun waktu 2007-2016.

Pemerintah Harus Antisipasi Kebijakan Ekonomi-Politik Imbas Perang Iran-Israel

"Pabrik rokok yang tidak patuh kita tutup. Sekarang (Tahun 2016) hanya ada 750-an Pabrik rokok," kata Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi, Selasa, 27 September 2016.

Pengawasan dan penertiban terhadap ribuan Pabrik rokok di Indonesia itu dilakukan untuk menekan peredaran rokok ilegal yang tidak memiliki daftar cukai ke negara.

Bea Cukai dan Bareskrim Polri Jalin Sinergi Gagalkan Peredaran Narkotika di Tangerang dan Aceh

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menilai bila banyaknya Pabrik rokok Indonesia yang tutup tersebut akan mengancam masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari usaha tersebut.

"Dampaknya PHK massal terjadi di pusat-pusat industri hasil tembakau (IHT)," kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 28 September 2016.

Atasi Masalah Kepadatan di Penjara, Israel Usulkan Hukum Mati Tahanan Palestina

Atas itu, Misbakhun berharap pemerintah untuk berempati terhadap industri hasil tembakau (IHT). Apalagi saat ini, usaha ini sedang menghadapi pasar yang pelik lantaran dijerat cukai tahun 2015 yang mencapai 12 persen hingga 16 persen.

Sebabnya, dengan kenaikan cukai rokok tahun lalu, telah membuat berkurangnya pangsa pasar. Sementara beban industri untuk cukai tidak bisa ditawar-tawar. "Saya berharap pemerintah berempati atas kondisi IHT saat ini. Dengan target kenaikan cukai rokok tahun 2017 sebesar Rp149,8 triliun sebagaimana pada RAPBN 2017, kondisi ini berat bagi industri," ujarnya.

Misbakhun mengatakan, dalam persentase nilai tambah ekonomi, sektor IHT hanya mendapatkan porsi 13 persen dalam struktur keseluruhan volume, dan itu terus digencet oleh pemerintah. Sementara, pemerintah mendapatkan porsi 56 persen, petani 11 persen dan sisanya pedagang perantara tembakau serta jalur distribusi hasil industri.

"Sungguh ironis, posisi IHT yang ditekan terus Pemerintah, tanpa pernah melakukan pembinaan apa pun selain hanya sebagai pemungut cukai semata,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya