Faktor-faktor Ini Pengaruhi Kinerja Rupiah Membaik

Tumpukan uang rupiah pecahan lima puluh ribu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Nilai tukar rupiah kembali dalam tren menguat beberapa hari ini, dengan kurs di bawah Rp13.000 per dolar Amerika Serikat. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, kurs dolar AS  hari ini, Jumat 30 September 2016, di posisi Rp12.998.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Rupiah, bahkan termasuk mata uang yang kinerjanya paling baik di Asia saat ini. Kendati demikian, rupiah masih rentan terhadap risiko naiknya suku bunga AS.

Lalu, faktor-faktor apa sajakah yang dapat memberikan kontribusi pada ketahanan rupiah?

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Berdasarkan riset DBS terbaru "IDR towards further resilience", membaiknya kinerja rupiah ini, terutama didukung oleh sejumlah faktor fundamental domestik. DBS Group Research mencatat, kepercayaan investor meningkat, seiring perbaikan produk domestik bruto (PDB), yang telah kembali ke level lima persen pada kuartal IV-2015.

Tingkat inflasi yang turun ke 3-5 persen mulai November 2015, juga mendorong Bank Indonesia lima kali menurunkan suku bunga sepanjang 2016 ini. Investor asing pun telah meningkatkan kepemilikan obligasi negara menjadi 5,4 persen terhadap PDB pada semester I-2016, dari 4,8 persen pada akhir 2015.

Rupiah Amblas ke Rp 16.270 per Dolar AS Pagi Ini

Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan stabil di level 2,1 persen terhadap PDB pada kuartal IV-2015. Meski negatif, namun ada perbaikan neraca yang mengindikasikan tekanan terhadap ekspor sudah berkurang.

”Faktor-faktor ini yang memberikan kontribusi pada ketahanan rupiah selama periode volatilitas global tahun ini,” kata Philip Wee, ekonom senior DBS Group Research, seperti dikutip dari siaran persnya di Jakarta, Jumat 30 September 2016.

DBS Group Research menurunkan proyeksi rentang perdagangan rupiah terhadap dolar antara 5,5 persen-6,1 persen. Dolar AS pun diperkirakan tidak akan mencapai lebih dari Rp14.000 untuk satu tahun ke depan.

Kendati demikian, rupiah tidak berarti kebal terhadap pergerakan mata uang global. Contohnya ketika Tiongkok mendevaluasi mata uangnya pada Januari tahun ini, rupiah kembali terdepresiasi. Begitu pula ketika rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada Juni lalu.

Rencana kenaikan suku bunga AS tetap bisa memengaruhi pergerakan rupiah ke depan. Faktor risikonya, terutama berasal dari utang luar negeri yang terus meningkat, serta cadangan devisa yang masih rendah.

“Tekanan jual terhadap rupiah dapat balik lagi, jika utang luar negeri jangka pendek dan defisit transaksi berjalan memburuk lagi,” ujar Wee.

Diutarakannya, upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi kelihatannya masih menghadapi tantangan karena terbatasnya ruang untuk menaikkan defisit anggaran. Meskipun sejak September tahun lalu sudah 13 paket kebijakan yang dikeluarkan.

"Salah satu andalan dalam jangka pendek adalah program amnesti pajak yang ditargetkan dapat menarik dana repatriasi hingga Rp1.000 triliun, atau sekitar US$75 miliar. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara dan membiayai proyek infrastruktur, keberhasilan program amnesti pajak sekaligus akan memperbaiki kredibilitas fiskal pemerintah," ucapnya.  

Jika berhasil, Wee menilai peringkat utang Indonesia bisa naik ke level layak investasi, “investment grade” dari Standard & Poor’s. Hal itu juga dapat menjaga daya tahan rupiah terhadap terpaan volatilitas global dan kenaikan suku bunga AS. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya