Rencana Luhut Revisi PP Usaha Tambang Ditentang

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara yang diusulkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luhut Binsar Pandjaitan. 

Percepatan Pelarangan Ekspor Nikel Momentum Tepat Perkuat Pasar RI

WALHI meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menghentikan rencana revisi peraturan itu, karena di dalamnya tidak hanya ekspor mineral konsentrat yang dibuka, tetapi ekspor ore bauksit, nikel dan mineral yang waktunya maksimum hingga 2021. 

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI, Khalisah Khalid menegaskan bahwa organisasi masyarakat sipil menilai kebijakan ini hanya akan menguntungkan korporasi pertambangan dan menunjukkan ketergantungan negara pada ekonomi 'palsu' pertambangan. 

Freeport Dapat Izin Ekspor Konsentrat hingga 2019

"Plt Menteri ESDM ini, seperti memfasilitasi korporasi. Yang menjadi pertanyaannya, apakah menteri yang menjabat sebagai Plt punya kewenangan untuk membuat suatu kebijakan strategis, apakah Plt bisa mengeluarkan satu kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak?" kata Khalid, di kantor WALHI, Jakarta, Selasa 11 Oktober 2016. 

Ia menilai, pemerintah seperti terus menerus melayani industri pertambangan yang menguras kekayaan alam Indonesia, bahkan industri itu justru melakukan penghancuran lingkungan hidup, khususnya mengurangi bentang alam yaitu hutan, bahkan mengancam keselamatan warga. 

Tiga Tahun Jokowi-JK, Perlindungan Lingkungan Buram

"Tiga sektor terbesar deforestasi (pengurangan hutan) adalah pertambangan, selain sawit," ujar dia. 

Tak hanya itu, rencana Revisi PP 1 tahun 2014 ini disebut telah menabrak Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (UU Minerba), khususnya pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan mineral untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan dalam negeri. 

Selain itu,  termasuk, pelanggaran atas pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan seluruh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba di undangkan. 

"Rencana Revisi PP ini menabrak UU Minerba, ini yang sebenarnya harus dibongkar, sebenarnya rencana ini, siapa sih yang dorong, apakah ini hanya konteks pemerintah murni? Atau, jangan-jangan ini dari korporasi seperti Freeport yang dorong," kata dia. 

Sementara itu, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menyatakan, rangkaian pelanggaran telah dimulai sejak penerbitan Permen ESDM Nomor 20 tahun 2013 yang memberikan waktu bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan ekspor mineral mentah secara bersyarat hingga 12 Januari 2014, hal itu dilanjutkan dengan terbitnya PP Nomor 1 tahun 2014 yang memberikan kelonggaran ekspor mineral konsentrat hingga 2017. 

Kemudian, pelanggaran berlanjut kepada penerbitan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014, yang memberikan toleransi pelonggaran ekspor melalui persentase progres pembangunan smelter (pengolahan), di mana menjadi syarat mendapatkan rekomendasi izin ekspor adalah progres pembangunan smelter hingga mencapai 60 persen. 

Terakhir, pemerintah pun menerbitkan Permen ESDM Nomor 5 tahun 2016 yang menghapus ketentuan syarat progres pembangunan smelter untuk mendapatkan perpanjangan ekspor mineral. Beleid yang dikeluarkan ini juga bertepatan dengan pengajuan perpanjangan ekspor konsentrat oleh PT Freeport Indonesia yang mana smelter nya diklaim baru berprogres mencapai 14 persen. 

"Ya, itu yang perlu kita lihat, dibalik rencana revisi ini, ada siapa, jika ini memang asli dari inisiatif pemerintah kan itu sudah melanggar UU," kata dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya