Kementerian Perindustrian: Jangan Asal-asalan Bangun Smelter

Ilustrasi pekerja asing
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merumuskan enam rekomendasi mengenai pengembangan fasilitas pengolahan hasil tambang atau smelter untuk dibahas bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Reaktivasi Pabrik PIM-1 Bakal Tingkatkan Produksi Pupuk Indonesia

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) dari Kemenperin, I Gusti Putu Surya Wirawan, menyampaikan rekomendasi tersebut, pertama, meminta Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) untuk memperjelas dan mempertegas perizinan izin usaha industri (IUI) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Kedua, meminta kepada Kementerian ESDM untuk menyusun neraca cadangan mineral. Kemudian ketiga, Kementerian ESDM dan Kemenperin menyusun kriteria dan jumlah smelter baru di daerah tertentu. 

Harga Komoditas Dunia Meroket, Kargo Batu Bara Terdongkrak Naik

"Kalau enggak begitu nanti semua mengajukan izin smelter. Nanti lingkungan kita rusak," ungkapnya. 

Dia memperhitungkan pengajuan pembangunan smelter akan meningkat seiring dengan realisasi program pemerintah untuk penambahan nilai hasil tambang. Karena itu, pemerintah harus bisa mengaturnya secara tertib. 

Konflik Rusia ke Ukraina Dongkrak Harga Minyak RI

"Smelter ini jumlahnya akan banyak, ada kekhawatiran apakah nanti semuanya akan mendapatkan bahan baku. Sehingga, perlu ada pedoman. Material balance harus ada," terangnya.

Rekomendasi keempat lanjut dia, meminta Kementerian ESDM untuk segera merevisi Peratutan Pemerintah (PP) No.9/2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Kementerian ESDM. 

"Terkait royalti. Royalti hanya untuk barang tambang. Proses berikutnya sudah proses industri, pajak ya dalam bentuk PPN (Pajak Penambahan Nilai). Ada pengusaha smelter yang royaltinya dipungut dihasil akhirnya," ungkapnya.

Selanjutnya yang kelima, revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.8/2015 tentang peningkatan nilai tambah mineral. Pada Permen tersebut disebutkan kandungan nikel minimal empat persen untuk diperbolehkan mengekspor. Alhasil, tambang-tambang dengan kadar nikel di bawah standar ditinggalkan karena dirasa tidak dapat diolah. 

Maka, pihaknya akan ajukan revisi untuk kadar di bawah empat persen dapat diolah dan tetap memiliki nilai jual. "Revisi ini lebih kepada besar kandungan nikel yang diwajibkan sebelum bisa diekspor," ucapnya.

Kemudian yang keenam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diminta agar mengembangkan pusat unggulan mineral Indonesia.

Dia menegaskan,saat ini fokus rekomendasi yang diajukannya adalah untuk industri smelter nikel. Namun, ia juga akan mengajukan rekomendasi serupa untuk komoditas mineral lainnya.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya