6 Tantangan Pemerintah Kembangkan Energi Panas Bumi

Ilustrasi/Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Adwit B Pramono

VIVA.co.id – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Agus Hermanto mengatakan, guna memacu upaya pengembangan dan pengelolaan energi panas bumi, ada enam poin tantangan utama yang harus menjadi fokus bagi pemerintah.

ESDM Luncurkan Aplikasi Si Ujang Gatrik, Ini Fungsinya

Pertama, tingginya resiko dan besarnya dana awal yang dibutuhkan, sangat berpengaruh dalam tahapan eksplorasi, terutama pada kegiatan pengeboran sumur.

Dia menyebut, estimasi biaya eksplorasi panas bumi di Indonesia yang mencapai delapan hingga sembilan persen dari total biaya proyek, memerlukan sebuah solusi yang implementasinya diharapkan dapat mengurangi risiko kehilangan biaya investasi.

ESDM Tetapkan Harga Minyak Mentah Indonesia US$95,72 per Barel

"Untuk mengurangi risiko tersebut, pemerintah harus berperan di dalam tahapan eksplorasi. Baik dari segi pembiayaan maupun teknis," kata Agus di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 24 Oktober 2016.

Kedua, kata Agus, tentang mekanisme pengelolaan wilayah kerja panas bumi. Pemilik wilayah kerja dilarang melakukan kontrak operasi bersama dengan pemilik modal, karena beberapa dari kontrak tersebut pada akhirnya kerap menimbulkan permasalahan.

Konflik Rusia-Ukraina Dongkrak Harga Batu Bara Acuan ke US$203,69/Ton

Dengan demikian, wilayah kerja tersebut tidak berjalan sesuai target, bahkan banyak wilayah kerja yang mangkrak, sehingga menyia-nyiakan potensi yang ada. Hal ini, menurut Agus, memerlukan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak memperbolehkan pengalihan operasi kerja untuk setiap wilayah kerja.

"Dibutuhkan peraturan bersama menteri ESDM, menteri Keuangan, dan menteri BUMN pada 2013, yang mengatur status kepemilikan aset panas bumi dan yang berasal dari kontrak operasi bersama, seharusnya ditinjau kembali dan diperbaharui," ujarnya.

Selanjutnya, tantangan ketiga, PLN sebagai pembeli listrik tunggal di Indonesia wajib membeli listrik dan uap dari pembangkit listrik panas bumi, sesuai dengan yang tercantum pada Permen ESDM Nomor 17 tahun 2014.

Tetapi, pada prosesnya, penentuan harga jual beli listrik panas bumi sering menimbulkan masalah, karena tidak ada titik temu harga antara PLN dan pengembang.

"Kami melihat perbedaan harga listrik dari berbagai pembangkit energi lain sangat memengaruhi PLN dalam menentukan harga listrik dan panas bumi. Karena itu, kami ingin memuat model feed in tarif dengan rancangan skema fixed prices (harga tetap), yang akan diatur melalui permen ESDM," kata Agus.

Keempat, mengenai pengadaan lahan dan lingkungan, di mana kegiatan panas bumi dapat dilakukan di wilayah hutan konservasi, melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 21 tahun 2014.

Agus menjelaskan, izin saat ini hanya diberikan untuk selain zona rimba dan inti dengan berdasarkan PP Nomor 108 tahun 2015, dan saat ini sedang dilakukan revisi UU Nomor 2 tahun 1990 untuk sinkronisasi mengenai jasa lingkungan.

"Melihat sebagian besar potensi panas bumi ada di zona inti, sehingga harus ada standar prosedur untuk usulan perubahan zonasi," kata Agus.

Tantangan kelima, mengenai penelitian dan data sumber energi baru terbarukan. Agus menilai, pemerintah dapat bekerja sama dengan universitas, badan penelitian, konsultan ahli dan asosiasi, untuk membentuk suatu pusat riset yang bertugas melakukan studi kelayakan teknis, kajian regulasi, dan ekonomi.

Selain itu, lanjut Agus, badan penelitian dan pusat kajian independen juga harus dilibatkan, karena banyak dari mereka yang telah memfokuskan diri dan pada bidang panas bumi.

"Diharapkan Indonesia dapat memiliki pusat riset yang handal serta dapat menjadi acuan untuk data-data yang dibutuhkan oleh pengembang panas bumi," ujarnya.

Terakhir, tantangan keenam, koordinasi dengan pemerintah daerah setempat sangat diperlukan, untuk mengatasi isu sosial dan membangun kesadaran masyarakat tentang manfaat dan pentingnya proyek pengembangan panas bumi.

Karena itu, lanjut Agus, peningkatan pemahaman masyarakat melalui sosialisasi baik secara luas maupun kepada masyarakat di sekitar area pengembangan, sangat dibutuhkan untuk menjamin kelancaran program tersebut.

"Keterlibatan masyarakat terhadap proyek pembangkit panas bumi dalam bentuk lapangan kerja, juga merupakan kewajiban pengembang," tegasnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya