- ANTARA
VIVA.co.id – Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia mengungkapkan, pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan memang terbilang mahal dibandingkan dengan energi fosil. Kendati demikian, penggunaan EBT dinilai sangat diperlukan, mengingat energi fosil seperti minyak, gas dan batu bara cadangannya suatu saat nanti akan habis.
Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan mengatakan bahwa di negara lain pun EBT tetap dikembangkan dengan berbagai alasan, meski harganya lebih mahal dibanding bahan bakar minyak (BBM).
"Tidak ada EBT yang lebih murah dari fosil, tetapi negara-negara luar tetap mengembangkan dengan berbagai macam alasan, shale gas (gas serpih) pun lebih mahal dari BBM," kata Paulus di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 29 November 2016.
Ia mengatakan bahwa pada akhirnya di berbagai negara tersebut memberikan carbon tax (pajak emisi) untuk energi fosil lebih tinggi, agar EBT mampu lebih kompetitif dibanding energi fosil.
"Memang ada semacam carbon tax, sehingga EBT itu bisa bersaing, karena ada pengurangan emisi," kata dia.
Paulus menambahkan, untuk beberapa EBT memang ada yang memiliki emisi, misalnya untuk Crude Palm Oil/CPO (minyak sawit mentah). Ia mengatakan, pihaknya juga melakukan penghitungan pengurangan emisi dengan standar dari rumusan internasional.
"Standar soal CPO, kami menghitung pengurangan emisi pakai rumusan yang publish di internasional," ujar dia. (asp)