Cerita Boediono Tentang APBN yang Dahulu Jadi Masalah RI

Mantan Wakil Presiden Bpediono dalam diskusi APBN di Kementerian Keuangan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Chandra G. Asmara

VIVA.co.id – Mantan menteri keuangan periode 2001-2004, Boediono menceritakan pentingnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam struktur perekonomian dalam negeri sejak Indonesia berhasil merdeka 71 tahun silam.

Yuk Simak! Keberlanjutan Pemulihan Ekonomi Nasional 2022

Boediono menyebut, pada rentang tahun 1950-1960an, kas keuangan negara sama sekali bukanlah suatu terobosan dalam mengentaskan sebuah masalah. Bahkan, APBN justru menjadi bagian dari permasalahan negara.

“APBN kita pada periode itu di luar kendali dan lepas kendali,” jelas Boediono, dalam sebuah diskusi di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu 30 November 2016.

Buka Beasiswa LPDP 2022, Menkeu Minta Pengelola Dana Abadi Transparan

Tekad pengelola APBN pada waktu itu, kata Boediono, yaitu bagaimana merancang kas keuangan negara yang memiliki prinsip, agar tidak menjadi penyebab terjadinya krisis. Apalagi, menjadi seorang pengelola keuangan negara bukanlah tugas mudah.

Tarik menarik politik dalam setiap merancang kas keuangan negara, menjadi tantangan berat. Maka dari itu, pada akhirnya pemerintah pun memutuskan untuk membuat sebuah rambu-rambu yang dapat meminimalisir adanya hal itu.

Sri Mulyani: Subsidi Jadi Belanja APBN Terbesar pada Januari 2022

“Di mana-mana ada tarik menarik. Kenapa? Karena itu uang banyak, dan menentukan siapa yang mendapatkan manfaat terbesar. Maka rambu ini penting,” katanya.

Jiplak negara maju

Boediono menjelaskan, rambu-rambu APBN yang diterapkan pada waktu itu adalah anggaran berimbang, di mana komposisi belanja negara tidak diperbolehkan melebihi dari pendapatan secara keseluruhan yang diterima oleh negara.

Namun, APBN Indonesia saat ini sudah mengikuti standar internasional, di mana ada batasan tertentu dalam setiap komposisi pengeluaran dan pendapatan negara. Pemerintah pun mematok angka defisit anggaran di kisaran tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kita tidak boleh melebihi tiga persen dari PDB. Kita menjiplak angka tersebut, karena kita tidak punya angka yang pas. Kita jiplak (contek) itu dari Eropa,” katanya.

Tak hanya itu, penetapan rasio utang pemerintah maupun swasta yang dibatasi sekitar 60 persen pun diakui Boediono jiplak angka dari negara lain. Pembatasan ini dilakukan, agar APBN tidak menjadi instrumen yang justru malah memberatkan negara.

“Sekarang, sudah tidak boleh lagi APBN menjadi bagian dari persoalan. Tapi bagian dari solusi, dan ini sudah dilaksanakan bertahun-tahun ini,” ujarnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya