Boediono Ungkap Sulitnya Kelola APBN di Masa Krisis Moneter

Mantan Wapres Boediono
Sumber :
  • ANTARAFOTO/Geri Aditya

VIVA.co.id – Mantan Menteri Keuangan periode 2001-2004, Boediono menceritakan sedikit pengalamannya mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, saat menerima jabatan sebagai Bendahara Negara usai Indonesia diterpa krisis moneter 1997-1998.

Kenang Rizal Ramli, Yusril Ihza Mahendra: Sering Disebut 'Sosialis', Rizal Sebenarnya Religius

“Kita sadar, bahwa kita mengalami dampak paling parah dari rekan-rekan di negara kawasan,” jelas Boediono, dalam sebuah diskusi di Kementerian Keuangan Jakarta, Rabu 30 November 2016.

Boediono menjelaskan, situasi politik yang memanas pada waktu itu, menjadi salah satu alasan runtuhnya perekonomian nasional. Bahkan, secara tiba-tiba, sepertujuh kue perekonomian yang berada di dalam negeri hilang begitu saja. 

Beda SBY dan Jokowi pada Akhir Masa Jabatannya menurut Analisis Pengamat

Boediono memandang, dalam periode tersebut, Indonesia seakan tak henti-hentinya diterpa masalah. Misalnya, dari perubahan iklim, yang menyebabkan beberapa produksi komoditas pangan strategis terganggu.

“Kita dapat nasib yang tidak baik. Dahulu kalau tidak salah, beras itu bisa naik tiga kali lipat dalam satu tahun," jelasnya. 

5 Negara Maju Ini Pernah Alami Krisis Moneter Terburuk dalam Sejarah

Tingkat kepercayaan para pelaku pasar pada masa-masa suram tersebut pun juga menjadi sentimen negatif. Terutama, dari melonjaknya beban utang yang menyentuh angka Rp600 triliun, yang berasal dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Pertanyannya, apakah APBN kita bisa sustainable (berkelanjutan), karena tiba-tiba utang jatuh dipundak kita,” katanya.

Seluruh menteri di era Presiden Soeharto pun mulai memutar otak, untuk kembali meyakinkan kepercayaan publik. Apalagi, kas keuangan negara juga tertekan tidak hanya dari utang yang terlampau tinggi, melainkan juga dari sisi penerimaan negara.

Boediono mencontohkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu berada di angka dua sampai empat persen usai lepas dari krisis moneter. Pemerintah pun tidak bisa begitu saja mengandalkan penerimaan negara yang sudah cukup tergambarkan dari pertumbuhan ekonomi.

“Pada waktu itu, salah satu sumber untuk menutup kekurangan anggaran itu adalah menjual aset. Tidak ada cara lain. Kalau kita pinjam, tidak mungkin ada yang mau kasih pinjaman. Jadi, kita optimalkan aset,” ujarnya.

Untuk meminimalisir beban utang, Boediono pun memutuskan untuk melakukan penjadwalan pembayaran utang, yang tadinya berjangka pendek, menjadi jangka panjang. Ini merupakan cara pemerintah, mengembalikan kepercayaan publik.

“Saat itulah, kita sudah bisa mengakses pinjaman secara normal. Dan, bersamaan dengan itu, kami memutuskan mengakhiri kerja sama kita dengan IMF (International Monetery Fund), karena kita merasa sudah bisa,” ungkapnya.

Keputusan tersebut, ditegaskan Boediono tetap mempertimbangkan kemampuan Indonesia, dalam mengelola kas keuangan negara ke depan. Fokusnya, adalah bagaimana mengurangi dampak-dampak negatif yang berpotensi menghampiri ke depan.

“Pada tahun 2004, kami menyerahkan estafet pemerintahan yang baru, dalam posisi yang menurut saya lebih baik daripada menerima jabatan di 2001,” tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya