Kisruh Freeport karena Banyak Aturan yang Bertentangan

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id – Polemik antara PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia, sepertinya masih akan terus berlanjut. Terlebih lagi, Freeport secara tegas mengatakan akan tetap berpegang dan mempertahankan kontrak karya pertambangan yang selama ini menjadi dasar hukum mereka beroperasi di Indonesia. 

Tantangan Berat, Setjen dan BK DPR Dorong Pemuda Optimis Bangun NKRI

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Falah Amru berpendapat, permasalahan ini sebenarnya berakar pada aturan mengenai kewajiban hilirisasi pertambangan dalam negeri. Kewajiban tersebut, sejatinya dituangkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009, Tentang Mineral dan Batu Bara. 

Kenyataannya, banyak revisi peraturan menteri dan peraturan pemerintah yang akhirnya memperbolehkan ekspor. Tetapi, pada akhirnya tetap terbentur aturan lama. 

DPR Minta Insiden Pembakaran Polsek Bendahara Tidak Terjadi Lagi

"Jika Permen 05 dan 06 direvisi sesuai Kepmen, maka pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) wajib melakukan pemurnian. Tetapi, akan diserang terus, karena bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2014 yang diteken SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) pada 14 Oktober 2014," kata Falah dikutip dari keterangan resminya, Senin 21 Februari 2017. 

Dengan banyaknya aturan yang bertentangan tersebut, menurutnya, tujuan kembali ke tafsir UU Nomor 4 Tahun 2009 tidak akan tercapai. Yaitu, menciptakan kegiatan pertambangan untuk devisa masuk dan lapangan kerja tidak akan tercapai.

Bamsoet: Anggaran Pendidikan APBN 2019 Harus Bawa Kemajuan

"Tujuan mewujudkan industri logam dasar tidak akan tercapai dan akan berakhir pada kegagalan lagi," tegasnya.

Karena itu, dia mengatakan, pemerintah sebaiknya tetap berpegang teguh pada UU Minerba, sehingga kepentingan dalam negeri bisa terwujud. 

"Dalam BAB XIII aturan ini (UU Minerba) tegas dijelaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib meningkatkan nilai tambah mineral. Jika ada industri pengolahan (smelter), maka pemegang IUP dan IUPK wajib memenuhi kebutuhan industri ini," tegasnya.

Kemudian, dalam BAB XXV Pasal 170 juga tegas dikatakan bahwa pemegang kontrak karya yang telah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun setelah diundangkan (2009).

Dengan demikian, dia mengatakan, kewajiban melakukan pemurnian hanya bagi pemegang Kontrak Karya seperti Freeport, PT NTT, dan PT Vale. “Konsentrat PT Freeport yang kadar CU 25 persen dilebur menjadi logam Cu 99 persen," ungkapnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya