BPDP Sawit Jadikan Kajian KPK Sebagai Masukan

Pekerja perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara
Sumber :
  • REUTERS/Y.T Haryono/Files

VIVA.co.id – Kepala Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, Rusman Heriawan mengemukakan, pihaknya akan menjadikan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi soal pengelolaan sawit, yang dinilai masih menimbulkan masalah, sehingga rawan korupsi sebagai masukan.

Ekspansi Bisnis, Sumber Tani Agung Bidik Rp530,63 M dari IPO

"Sebagai masukan, sebagai peringatan, pengawasan harus lebih baik lagi, tapi kalau kasusnya (korupsi) enggak ada. Lebih waspada saja terhadap itu," ujarnya, saat ditemui VIVA.co.id di sela Workshop Media 'Peranan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dan Perkembangan’, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Rabu 26 April 2017.

Sebagai Dewan Pengawas, menurut Rusman, pihaknya tidak melihat kerawanan korupsi seperti yang disebutkan KPK. Namun, dia menilai, wajar kajian tersebut lantaran KPK melihat besarnya dana ke biodiesel.

Ekonomi Kuartal-IV Tumbuh 5,02%, Ini Andil Harga Sawit dan Batu Bara

"Tapi itu kan baru berpotensi, KPK juga enggak salah, karena melihat besaran itu kan, tetapi kami menerimanya sebagai masukan," ujarnya.

Soal kajian KPK itu, Direktur Utama BPDP Sawit, Dono Boestami mengemukakan, masalah sawit sangat kompleks. "Jadi, kita tidak bisa melihat sepotong-sepotong, (mesti dilihat) secara menyeluruh," ujarnya.

Di Depan Sri Mulyani, Wagub Sumut Minta Bagi Hasil Pajak Kebun Sawit

Ketika ditanya tentang langkah untuk cegah rawan korupsi, Dono mengatakan, semua kebijakan telah diatur Komite Pengarah. "Saya sih enggak terlalu ini ya, jangan melebar ke mana-mana, yang penting itu kita melihat industri sawit ini sangat penting untuk Indonesia. Ada 32 juta petani yang bergantung ke sawit," ujarnya.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan, lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian membuat sektor kelapa sawit rawan korupsi.

"Dalam kajian tahun 2016, KPK menemukan hingga saat ini belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit, yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi ini tidak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan. Sehingga, rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktik tindak pidana korupsi," kata Febri, Senin 24 April 2017.

Begitu pun integrasi perizinan dalam skema satu peta juga belum tersedia. Selain itu, kementerian dan lembaga terkait belum berkoordinasi dalam penerbitan perizinan. "Akibatnya, masih terjadi tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare," ujarnya.

Sementara itu, di hilir, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor ini mengakibatkan ada kurang bayar pungutan sebesar Rp2,1 miliar dan lebih bayar Rp10,5 miliar. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya