- VIVA.co.id
VIVA.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat meminta Bank Indonesia untuk mempertimbangkan secara matang rencana untuk memberikan keleluasaan bagi perbankan penerbit uang elektronik atau e-money mengenakan biaya dari transaksi isi ulang atau top up.
“Hati-hati mengenakan biaya kepada industri. Karena yang terjadi, nantinya menjadi beban konsumen,” kata Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Mukhamad Misbakhun, di gedung parlemen, Jakarta, Selasa 6 Juni 2017.
Bank sentral beberapa waktu yang lalu menyatakan, bahwa izin bagi bank untuk menarik biaya top up merupakan salah satu upaya otoritas moneter dalam percepatan penerapan transaksi non tunai di jalan tol. Dengan adanya biaya tersebut, bank pun bisa berbenah untuk memperbaiki infrastruktur internal.
Namun, Misbakhun memandang, pengenaan biaya transaksi pengguna e-money justru hanya menjadi disinsentif bagi para pemilik kartu. Padahal, fasilitas e-money tanpa adanya pengenaan biaya sudah menjadi insentif bagi seluruh elemen masyarakat.
"ATM (Anjungan Tunai Mandiri) antar bank sudah kena biaya. Transfer kena biaya. Nah, ini top up juga akan kena biaya. Akhirnya fungsi bank hanya administrasi saja," katanya.
Meskipun benar-benar diterapkan, Misbakhun berharap besaran pengenaan biaya top up tidak semakin menambah beban masyarakat. Sebab, imbasnya akan berdampak terhadap geliat perekonomian nasional ke depan.
"Kalau terlalu berat, itu akan membuat ekonomi tidak kreatif," katanya. (adi)