Rumitnya Stuktur Cukai Tembakau Bikin Penerimaan Tak Optimal

Industri rokok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusran Uccang

VIVA.co.id – Hingga Agustus 2017, cukai tembakau masih mendominasi penerimaan cukai pemerintah. Dari total penerimaan cukai senilai Rp68,3 triliun, sebesar Rp65,5 triliun di antaranya berasal dari cukai tembakau.

Revisi PP Tembakau Dianggap Ancam Pemasukan Industri Periklanan dan Kreatif

Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Hasan menilai, penerimaan cukai rokok sejatinya bisa lebih dioptimalkan pemerintah. Apabila, struktur tarif yang rumit saat ini bisa disederhanakan. 

Dia mencontohkan, soal penggolongan berdasarkan batas produksi tiga miliar batang yang ditetapkan saat ini misalnya. Jumlah itu tidaklah relevan, karena akhirnya hanya memberikan insentif bagi perusahaan rokok besar untuk membayar cukai lebih rendah.

Kasus Pungli, Kejati Banten Sita Rp1,1 Miliar dari Bea Cukai Soetta

"Golongan produksi lebih dari tiga miliar dan di bawah tiga miliar, ini tidak relevan lagi. Misalnya saya pengusaha rokok, hal ini memberikan insentif bagi saya untuk memproduksi 2 miliar 999 juta batang, sehingga cukainya lebih murah," ujar Abdilah dikutip dari keterangannya, Rabu 20 September 2017.

Senada dengan Abdillah, Anggota Komisi XI DPR RI, Indah Kurnia berpendapat bahwa struktur cukai di Indonesia memang masih perlu pembenahan. Salah satunya adalah tarif cukai untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT). Di mana seharusnya tidak ada lagi tarif cukai SKT yang lebih tinggi dari tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Rokok Ilegal Senilai Rp6,6 Miliar Disita Bea Cukai Aceh

“Yang menggunakan tangan manusia (SKT), itu tarifnya seyogyanya harus lebih rendah dari mesin (SKM & SPM),” tambahnya.

Lebih lanjut, Indah menjelaskan, kompleksnya struktur cukai rokok sebenarnya merugikan penerimaan negara. Hal ini juga menyebabkan persaingan yang tidak sehat, karena perusahaan yang kecil harus bersaing dengan perusahaan besar asing dengan tarif yang sama di golongan II.

“Penerimaan negara menjadi tidak optimal, karena ada perusahaan besar yang kesannya itu mensiasati. Ada pembatasan kalau tidak mencapai tiga milyar rupiah maka akan termasuk golongan yang bukan golongan I,” tambahnya.

Karena itu menurut Indah, sebaiknya pemerintah menggabungkan batas volume produksi untuk rokok mesin menjadi tiga miliar batang. Sehingga, persaingan yang sehat dapat tercipta di industri dan aturan ini akan melindungi pabrikan yang benar-benar kecil. 

"Digabung saja jadi tiga miliar, sehingga tidak ada produsen besar yang mensiasati khususnya yang asing-asing itu akhirnya mendapatkan golongan jadi golongan II," tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya